Ahad 29 Mar 2020 00:07 WIB

Penanganan Covid-19 Indonesia Andalkan Herd Immunity?

Sekjen Papdi mengingatkan banyak nyawa yang jadi korban jika andalkan herd immunity.

Rep: Santi Sopia/ Red: Reiny Dwinanda
Cuplikan adegan video klip
Foto: Youtube
Cuplikan adegan video klip "Demi Raga yang Lain", Sekjen Papdi mengingatkan banyak nyawa yang jadi korban jika andalkan herd immunity.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia (Papdi) dr Eka Ginanjar SpPD-KKV mengingatkan bahwa Indonesia punya angka kasus kematian (CFR) Covid-19 yang sangat tinggi, yakni di atas delapan persen. Dengan jumlah kasus 1.115, Indonesia berada pada peringkat ke lima negara dengan CFR Covid-19 tertinggi di dunia.

Kemungkinan penyebabnya, menurut Eka, hanya ada dua. Pertama, denominator terlalu rendah. 

Baca Juga

"Maksudnya, banyak kasus tidak terdeksi atau penyebarannya masih bebas," jelas Eka.

Kedua, fasilitas kesehatan tidak sanggup melayani karena sudah melebihi kapasitas. Bisa jadi, menurut Eka, keduanya juga terjadi berbarengan.

"Tinggal tunggu ledakan kematian dan kasusnya, kita sedang menghadapi jutaan kematian dalam dua minggu ke depan," ungkap Eka ketika dihubungi Republika.co.id, Sabtu.

Eka mengatakan, fakta itu penting untuk disampaikan ke masyarakat. Ia memaparkan, jika memakai hipotesis pertama, yakni CFR dunia 4,3 persen sebagai CFR Indonesia, maka dengan jumlah kematian 87, jumlah kasus sebenarnya (87x100)/4,3=2.023 kasus.

"Jadi sebenarnya kasus kita saat ini ada 2.000 lebih kasus dan hal ini akan menjadi blunder terbesar dalam sejarah bangsa ini," kata Eka yang dokter spesialis penyakit dalam dan konsultan kardiovaskular.

Herd immunity korbankan satu generasi

Eka mengatakan, SARS-Cov-2 sebagai penyebab penyakit Covid-19 merupakan virus corona tipe baru. Masih belum diketahui akan seperti apa mutasi akhirnya.

Di lain sisi, normalnya, herd immunity baru bisa tercapai bila populasi terinfeksi sekitar 70 persen. Artinya, 70 persen dari 270 juta warga Indonesia perlu terjangkit Covid-19 untuk tercipta imunitas kelompok.

Persentase tersebut mewakili 189 juta jiwa. Apabila CFR 3 persen saja, yang merupakan rata-rata dunia, maka korban meninggal 3 persen dikalikan 189 juta, yaitu sekitar 5,67 juta jiwa.

"Apakah mau mengorbankan segitu banyak nyawa? Itu kalau pakai CFR 3 persen, sementara saat ini CFR kita 8 sampai 10 persen," ujar Eka.

Andaikan memakai hipotesis kedua, CFR Indonesia tampak tinggi sekali. Artinya, fasilitas kesehatan tidak siap..

Eka menjelaskan, herd lmmunity berarti membiarkan imunitas alami tubuh muncul hingga terbentuk daya tahan terhadap virus dan penyebaran virus diharapkan reda dengan sendirinya. Risikonya, menurut Eka, kematian massal bisa terjadi di kalangan usia produktif, sehingga menghilangkan sebuah generasi.

"Bayangkan, saat ini episentrum Covid-19 ada di Jabodetabek yang relatif memiliki fasilitas kesehatan lengkap saja, CFR sudah cukup tinggi. Bagaimana kalau di daerah? Bagaimana Papua dengan fasilitas kesehatan yang minim," katanya.

Seperti dikutip The Independent, The Vaccine Knowledge Project at Oxford University mengatakan, imunitas kawanan "hanya bekerja" kalau mayoritas populasi telah divaksinasi terhadap suatu penyakit. Konsep ini juga tak mempan untuk seluruh penyakit yang bisa dicegah oleh vaksin.

Organisasi tersebut mengungkapkan herd immunity tidak seperti vaksinasi. Kekebalan komunitas tidak memberikan tingkat perlindungan individual yang tinggi, sehingga itu bukanlah alternatif yang baik untuk menjadi imun.

Tonia Thomas selaku manajer The Vaccine Knowledge Project, menjelaskan bahwa prospek pengembangan kekebalan terhadap suatu kondisi melalui infeksi daripada melalui vaksinasi, bisa berbahaya. Ia mengatakan, orang mungkin akan berisiko mengalami komplikasi dari penyakit infeksi yang dideritanya.

“Vaksin adalah cara yang lebih aman untuk mengembangkan kekebalan, tanpa risiko yang terkait dengan penyakit itu sendiri,” kata Thomas.

Kembali ke Indonesia, jika tidak ada intervensi, menurut Eka, maka asumsinya pemerintah mengandalkan herd immunity. Ia mengajak untuk membayangkan apabila kedua hipotesis tersebut berjalan secara bersamaan saat konsep herd immunity dijalankan, yakni banyaknya kasus yang tak terdiagnosis dan fasilitas kesehatan yang tidak siap.

Ketika itu terjadi, artinya masih banyak kasus positif secara aktif menularkan ke orang lain. Dengan kata lain, Indonesia tidak melakukan intervensi terhadap kontrol penyebaran.

Di saat itu berlangsung, populasi berisiko tinggi Indonesia akan rawan terinfeksi, yakni populasi usia lanjut dan orang dengan riwayat penyakit tertentu, seperti penyakit jantung, autoimun dan sebagainya. Virus corona tipe baru jelas merupakan ancaman nyata bagi mereka.

Eka mengungkapkan, sebenarnya masyarakat bisa digerakkan secara swadaya maupun dikoordinir pemerintah. Malaysia bisa menjadi contoh. Tidak memakai istilah karantina atau lockdown, Malaysia menjalankan movement control order (MCO) alias Perintah Kawalan Pergerakan atau Instruksi Pembatasan Gerak yang dijaga aparat kepolisian dan tentara.

"Begitu ada klaster besar di kampung atau satu daerah, langsung diberlakukan EMCO (Enhanced MCO)," kata Eka.

Solusi untuk Indonesia

Untuk mengakhiri wabah Covid-19, menurut Eka, kuncinya ada pada pemutusan rantai penyebaran, terutama ke daerah-daerah karena pencegahan di Jabodetabek sudah terlambat. Kalau memungkinkan, pemerintah perlu melaksanakan UU No. 6 Tahun 2018, yaitu karantina wilayah.

Di samping itu, pemerintah harus meningkatkan kapasitas sistem kesehatan dengan tes cepat, massif, dan akurat. Pakar genetika harus dilibatkan karena sudah ada 900-an alat yang ada.

"Ini bisa dikonfirmasi ke dokter patologi klinik atau mikrobiologi atau memakai metode apa pun yang bisa cepat. Tapi yang paling penting setelah dicek, harus dilakukan clustering-containing. Jadi, untuk memutus penyebaran, perlu dilakukan tracing (pendeteksian), clustering (pengelompokan), containing (karantina)," papar Eka yang alumnus Universitas Indonesia.

Selanjutnya, Eka mengingatkan agar pemerintah meningkatkan kapasitas rumah sakit dengan perbanyak intensive care unit (ICU) dan ruang isolasi, termasuk ventilatornya.

"Ini membutuhkan waktu dan biaya, tetapi tetap perlu dilakukan," kata Eka.

Menurut Eka, usaha pemerintah memfungsikan Wisma Atlet Kemayoran sebagai rumah sakit darurat atau pengadaan rumah sakit isolasi lainnya memang bermanfaat, tetapi sekarang Indonesia bekejaran dengan usaha pemutusan penyebaran.

"Jadi tidak bisa melakukannya sendiri-sendiri," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement