Sabtu 28 Mar 2020 07:22 WIB

Ikhtiar Menghadapi Wabah Corona

Pandemi covid-19 secara tidak langsung mendekatkan manusia dengan Tuhan

Rep: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)/ Red: suaramuhammadiyah.id (suara muhammadiyah)
Ikhtiar Menghadapi Wabah Corona
Ikhtiar Menghadapi Wabah Corona

Oleh: Abdul Munir Mulkhan

Suara Muhammadiyah – Terlepas apakah pandemi virus Corona yang dikenal sebagai Covid-19 itu rekayasa atau alami, yang pasti seluruh dunia, seluruh negara, milyaran penduduk bumi dibuat kalang-kabut.

Negara-bangsa super-canggih, super modern yang sedang merancang tamasya ke planet-planet dalam tata surya, hingga negara-bangsa yang didera kemiskinan, tergopoh-gopoh menghadapi ancaman kematian dari virus yang tak kasat mata tersebut.

Manusia tak-bertuhan, ateis, komunis, hingga yang merasa paling taat pada aturan (syariat) Tuhan pun dibuat bingung dengan makhluk tak kasat mata, virus Corona. Kebingungan serupa juga dihadapi pemeluk Islam yang taat atau Muslim KTP, umat Kristiani, hingga Buddis dan Hinduis.

Respon terhadap kehadiran virus Corona yang serba cepat dan dadakan, dari manusia yang beriman sampai lemah imannya, bisa dibedakan ke dalam dua kelompok besar. Serupa pula respon umat manusia yang secara terbuka menyatakan ingkar dan menolak keberadaan Tuhan (ateis dan komunis).

Virus Corona menjadi hantu maut yang menyelinap ke setiap sudut dan ruang gerak semua orang, dari presiden hingga rakyat jelata. Sementara ahli medis hingga kini belum juga menemukan obat mujarab untuk melawan keperkasaan virus ini.

Di saat-saat kritis seperti inilah kehadiran hantu maut (baca: Izrail) membawa kesadaran baru tentang kehadiran Tuhan secara aktual. Wajar jika seorang pendeta meyakinkan umatnya untuk tidak takut pada Corona, tetapi lebih percaya pada kehadiran Kasih Tuhan. Sama halnya seorang ulama (habib) dengan penuh percaya diri menghimbau pengikutnya untuk tidak takut pada Corona, tetapi lebih takut pada Tuhan.

Sikap pasrah pada kehendak (takdir) Tuhan secara total atau ikhtiar maksimal, terkadang tidak terkoneksi dalam logika umat saat menghadapi ancaman maut Corona. Kekalutan menghadapi ancaman Virus Corona, menyelimuti mereka yang samasekali tidak memiliki pengetahuan tentang virus tersebut, ditambah dengan serbuan informasi media sosial yang benar-salahnya sulit dikonfirmasi. Lebih kalut lagi warga masyarakat yang selama ini menghadapi soal-soal klasik dalam kehidupan, yakni kemiskinan.

Sikap mendua seringkali kita temukan saat seseorang menghadapi kekalutan social yang juga belum dipahami secara detail.  Ketidaktahuan biasanya menimbulkan sikap pasrah atau masa bodoh, dengan mengembalikan pada apa yang dipercaya sebagai penentu semua peristiwa, yaitu Tuhan.

Sikap demikian seringkali diikuti tindakan yang boleh jadi tidak masuk akal atau irrasional. Ancaman virus Corona yang mematikan dihadapi dengan jampi-jampi dan lain sebagainya. Bagi pelaku, tindakan demikian paling tidak, mampu membuatnya merasa lebih nyaman dan aman karena ada harapan yang dibangunnya sendiri.

Pemikiran Peradaban Islam hingga saat ini belum berhasil memecahkan “simalakama” peran takdir dan ikhtiar. Walaupun kedua wacana atau konsep teologi tersebut sebenarnya disinergikan.

Ahli Sunnah wal Jamaah (Sunni) sebenarnya belum benar-benar sukses mensintesakan gagasan teologi Mu’tazilah (free will; kebebasan bertindak) dan Jabariyah yang pasrah total tanpa ikhtiar. Sunni hanya mengakomodasi kebolehan ikhtiar, namun hasil akhirnya tetap pada takdir yang diyakini mustahil diketahui manusia sebelum terjadi.

Menghadapi ancaman virus Corona, sudah semestinya dibangun argumen dan langkah-langkah rasional bagi usaha mencapai tujuan yang jelas. Bangunan demikian bisa disusun melalui serangkaian pengalaman, seperti halnya pengetahuan tentang virus Corona.

Dari pengalaman sekelompok orang yang bebas dari keterpaparan virus bisa dipelajari tentang kondisi tubuh yang bersangkutan. Sama halnya pada mereka yang terinveksi kemudian sembuh atau sebaliknya yang gagal dan akhirnya meninggal.

Dalam Al-Qur’an mudah ditemukan pernyataan Allah agar manusia menggunakan akal: “afalaa tatafakarun?” (mengapa kamu tidak berfikir?), “afalaa ta’qilun?” (kenapa kamu menggunakan akal?). Ali bin Abi Thalib pernah berkata: “addinu ‘aqlun, la dina liman la aqla lahu” (agama itu ke-masuk-akal-an, tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal). Saat seseorang tidak sadar, maka tidak ada taklif hukum baginya. Sama halnya bagi anak-anak yang belum baligh, karena belum bisa memilah mana yang benar dan mana yang salah menggunakan akalnuya.

Dalam surat Muhammad ayat 19, Tuhan memerintahkan kapada manusia untuk “tahu” (berilmu) bagi diri-Nya adalah “la ilaha illallah”.  Pernayataan Albert Einstein tentang hubungan agama dan ilmu, cukup menarik untuk disimak, ”science without religion is lame, religion without science is blind” . Ilmu tanpa agama akan menjadi lumpuh, sama halnya dengan agama akan buta tanpa dilengkapi dengan ilmu.

Adalah bijak jika kita menjadikan panduan dokter tentang bagaimana menghadapi ancaman virus Covid-19 sebagai pedoman, sembari menari petunjuk Tuhan dengan melakukan penelitian. Fakultas kedokteran dan farmasi, dokter dan perawat, melakukan penelitian dan tindakan medis yang diperlukan. Di saat yang sama, kita bantu saudara kita yang harus mengkaratina diri di rumah dengan kemampuan yang kita punya. Melalui kolaborasi (ta’awun) Tuhan pasti memberi kita jalan, bagaimana mengatasi ancaman virus Corona.

Abdul Munir Mulkhan, Guru Besar Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan suaramuhammadiyah.id. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab suaramuhammadiyah.id.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement