Sabtu 28 Mar 2020 06:33 WIB
corona

Cara Rakyat Jogja Menolak Wabah

Rakyat Joga Melakukan Lockddown Mandiri

Relawan membagikan paket sembako kepada tukang becak di kawasan Malioboro, DI Yogyakarta, Jumat (27/3/2020). Pemberian bantuan sebagai jaring pengaman ekonomi bagi warga dengan pekerjaan mengandalkan pendapatan harian sebagai tukang becak, kusir andong dan pedagang kaki lima kawasan Malioboro seiring terus dilakukannya physical distancing untuk mencegah penyebaran COVID-19
Foto: ANTARA/Hendra Nurdiyansyah
Relawan membagikan paket sembako kepada tukang becak di kawasan Malioboro, DI Yogyakarta, Jumat (27/3/2020). Pemberian bantuan sebagai jaring pengaman ekonomi bagi warga dengan pekerjaan mengandalkan pendapatan harian sebagai tukang becak, kusir andong dan pedagang kaki lima kawasan Malioboro seiring terus dilakukannya physical distancing untuk mencegah penyebaran COVID-19

Oleh: DR Iswandi Syahputra, Guru Besar Ilmu Komunikasi UIN Jogja.

Saya rasa, situasinya memang agak sedikit mencekam. Malam ini sejumlah pemuda di beberapa kampung sepanjang jalan yang saya lalui melakukan Lockdown. Akses jalan ke kampung mereka ditutup dengan kayu/bambu sebagai palang disertai tulisan LOCKDOWN.

Malam ini saya ada sedikit keperluan penting sehinga harus keluar rumah. Pulang pertemuan di sekitar bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, saya memilih pulang lewat jalan kampung Maguwoharjo.

Tampak pemuda dari beberapa kampung berkumpul di ujung gang. Mereka bergotong royong menutup akses jalan masuk dengan palang/portal sambil menempel poster/spanduk bertuliskan: LOCKDOWN

Karena saya temui ada beberapa aktivitas seperti ini di jalan, sambil nyetir mobil saya lantas berpikir. Apa yang membuat rakyat kampung mengambil langkah swakarantina tersebut? Apakah terkait dengan bertambahnya jumlah positif Corona, PDP dan ODP? Atau, terkait dengan pemudik yang datang dari Jakarta? Atau sebagai sistem antisipasi dini? Atau bentuk protes karena pemerintah pusat yang dinilai lambat?

Belum sempat terjawab, pikiran saya kemudian melompat pada imajinasi solidaritas orang kampung. Mereka ini memiliki solidaritas tinggi, tapi pada saat bersamaan solidaritas tersebut adalah aset membangun sistem awas dan waspada. Saya beranikan untuk berpikir, jangan-jangan ini cermin budaya orang kampung. Mereka kuat solidaritas karena itu bisa jadi sangat awas bila ada yang bikin mereka was-was. Beginilah cara orang kampung sebagai rakyat bawah menolak wabah.

Sampai di sini, perjalanan saya terhenti karena lampu merah di perempatan pasar Stan, Maguwoharjo. Walau sepi, sambil menunggu lampu menyala hijau pikiran saya terbang ke pemerintah pusat di Jakarta. Sekali lagi saya beranikan untuk berpikir begini:

"Bapak, orang kampung sudah lakukan lockdown mandiri. Inilah budaya orang kampung. Itu cara mereka rakyat bawah menolak wabah. Mereka tampak lebih siap menjalani LOCKDOWN. Kita sudah hampir terlambat. Ayo dong, segeralah ambil langkah cepat dan menyeluruh. Kalau belum bisa menyeluruh, mungkin LOCKDOWN terukur dan terbatas".

Lampu hijau menyala, saya masuk gigi satu dan mobilpun melaju. Melintasi pasar kampung Stan, saya kembali mikir.

Kalau kampung lakukan LOCKDOWN, apakah pasar juga lockdown? Bagaimana warga memenuhi kebutuhan hidup mereka? Kalau kampung yang lockdown didatangi pemudik, apa yang akan terjadi? Kalau semua kampung lakukan lockdown, bagaimana hubungan antar kampung? Apa tidak lebih baik ada standar dan kriterianya?

Belum terjawab, saya sudah tiba di rumah langsung disemprot disinfektan dan mandi sebagai ikhtiar menenangkan hati.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement