Jumat 27 Mar 2020 06:43 WIB

Tiga Macam Zikir Menurut Ibnu Athaillah

Ibnu Athaillah membagi zikir ke dalam tiga jenis.

Ilustrasi Tiga Macam Zikir Menurut Ibnu Athaillah. FOTO: Warga mengusap mukanya saat dzikir dan doa bersama di Masjid Agung Natuna, Kepulauan Riau, Kamis (6/2/2020).
Foto: M RISYAL HIDAYAT/ANTARA FOTO
Ilustrasi Tiga Macam Zikir Menurut Ibnu Athaillah. FOTO: Warga mengusap mukanya saat dzikir dan doa bersama di Masjid Agung Natuna, Kepulauan Riau, Kamis (6/2/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alquran menyebut zikir beberapa kali dalam berbagai surah. Di antaranya adalah surah an-Nisa ayat 103 ("Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat, ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, di waktu berbaring..."). Kemudian, surah ar-Ra'd ayat 28 ("Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram).

Secara harfiah, zikir berarti menyebut, menuturkan, mengingat, atau mengerti perbuatan baik. Menurut istilah, sebagaimana disebutkan dalam Ensiklopedi Islam, zikir adalah ucapan lisan, gerakan raga maupun getaran hati sesuai dengan cara-cara yang diajarkan agama, dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Baca Juga

Zikir juga dimaknai sebagai upaya untuk menyingkirkan keadaan lupa dan lalai kepada Allah. Caranya dengan selalu ingat kepada-Nya. Zikir mengeluarkan seorang mukmin dari suasana lupa, untuk kemudian masuk dalam suasana musyahadan (saling menyaksikan) dengan mata hati. Hal ini disebabkan adanya dorongan rasa cinta yang mendalam kepada Allah SWT.

 

Pembagian zikir

Seorang sufi besar, Ibnu Athaillah al-Sakandari (penulis Al-Hikam) membagi zikir kepada tiga bagian. Pertama, zikir jali. Artinya, jelas atau nyata. Kedua, zikir khafi. Inilah zikir yang samar-samar. Terakhir, zikir haqiqi atau yang sebenar-benarnya.

Zikir jali adalah perbuatan mengingat Allah SWT dalam bentuk ucapan lisan, yang mengandung arti pujian, rasa syukur, dan doa kepada Allah.

Zikir ini diucapkan dengan suara jelas untuk menuntun gerak hati. Misalnya, dengan mengucapkan tahlil (La Ila-ha Illa Allah), tasbih (Subhana Allah), takbir (Allahu Akbar), membaca Alquran, dan doa lainnya.

Zikir ini ada yang sifatnya terikat dengan waktu, tempat atau amalan tertentu lainnya. Misalnya, ucapan dalam shalat, saat melaksanakan manasik haji, doa-doa yang diucapkan ketika akan makan, sesudah makan, akan tidur, bangun tidur, dan sebagainya. Ada juga yang sifatnya mutlak, tidak terikat dengan waktu dan tempat. Misalnya mengucapkan tahlil, tasbih, tahmid, dan takbir di mana saja dan kapan saja.

Zikir khafi dilakukan secara khusuk oleh ingatan hati, baik disertai zikir lisan maupun tidak. Orang yang sudah mampu melakukan zikir seperti ini hatinya akan merasa senantiasa memiliki hubungan dengan Allah SWT. Ia selalu merasakan kehadiran Allah SWT kapan dan di mana saja.

Dalam dunia sufi ada ungkapan bahwa seorang sufi ketika melihat sesuatu benda apa saja, yang dilihatnya bukan benda itu, melainkan Allah Ta'ala. Ini bukan berarti benda itu "adalah" Allah SWT. Pandangan dari sang sufi jauh menembus melampaui pandangan matanya. Ia melihat bukan saja benda itu tapi juga menyadari akan adanya Khalik yang menciptakan benda itu.

Zikir haqiqi dilakukan oleh seluruh jiwa-raga, kapan dan di mana saja, dengan memperketat upaya untuk memelihara seluruh jiwa-raga dari larangan Allah SWT dan mengerjakan apa yang diperintahkan-Nya.

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement