Kamis 26 Mar 2020 14:48 WIB

Jangan Pertentangkan Kesehatan vs Ekonomi dalam Corona

Pencegahan Wabah COVID-19 Bisa Menjadi Motor Ekonomi

Bakal Calon Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo (kiri) menjawab pertanyaan disela penyerahan formulir pendaftaran Caketum PAN periode 2020-2025 di Jakarta, Sabtu (8/2/2020).
Foto: ANTARAFOTO
Bakal Calon Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Dradjad Wibowo (kiri) menjawab pertanyaan disela penyerahan formulir pendaftaran Caketum PAN periode 2020-2025 di Jakarta, Sabtu (8/2/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ketua Dewan Pakar PAN, Dradjad H. Wibowo mengatakan langkah kesehatan dan menangani wabah COVID-19 atau dikenal dengan nama virus Corona, perlu menjadi prioritas yang tinggi. Jangan mempertentangkan kesehatan versus ekonomi.

"Karena, jika wabah meledak, otomatis ekonomi macet,” kata Dradja kepada Republika.co.id, Kamis (26/3).

Pemerintah, kata Dradjad, telah menerbitkan Inpres No 4/2020 tentang refocussing kegiatan, realokasi anggaran serta pengadaan barang dan jasa dalam rangka percepatan penanganan COVID-19. Inpres 20 Maret 2020 itu merupakan salah satu butir dari 9 langkah Presiden Jokowi untuk menyelamatkan ekonomi dari COVID-19.

"Itu semuanya perlu kita dukung karena memang dibutuhkan,” ungkap ekonom senior INDEF tersebut. 

Dradjad mengatakan belanja dan kegiatan kesehatan itu bisa dijadikan salah satu motor penyelamat ekonomi. Keuntungannya, lanjut Dradjad, belanja kesehatan meningkatkan peluang mencegah, minimal menekan wabah. Ringkasnya, kesehatan dan ekonomi bisa disinergikan.

Dradjad mencontohkan, dilihat dari sisi pelayanan medis. Jumlah ruang isolasi di Indonesia itu sangat sedikit. Bakal kewalahan menampung lonjakan pasien COVID-19.  Pemerintah sebaiknya menargetkan penyediaan 2500 atau bahkan 10000 ruang isolasi dalam waktu sekian pekan.

"Di sini langkah yang ditempuh Menneg BUMN Erick Thohir mengubah wisma Atlet menjadi RS Darurat patut dipuji,” papar Dradjad.

Ruang isolasi butuh AC individu untuk memotong risiko penularan lewat udara. Butuh tempat tidur, ventilator, alat kesehatan lain hingga tisu handuk. RS Darurat butuh disinfektan, alat pelindung diri (APD), oksigen hingga obat-obatan penunjang seperti anti-inflamasi. Butuh juga semacam safe house yang dekat bagi dokter dan perawat. Mereka ada pasukan terdepan kita dan harus mendapat prioritas

"Jika jumlahnya masif maka pelaku industri dan perdagangan elektronik, sanitasi, alat kesehatan, farmasi hingga garmen dan properti bisa lumayan terbantu,” papar Dradjad.

Permintaan jasa medis juga naik, antara lain karena pasien non-COVID-19 kan sangat banyak juga. Ini bisa mendorong  investasi jasa pelayanan kesehatan (yankes) seperti klinik.

Contoh lain, jelas Dradjad, dari sisi memotong penyebaran virus. Misalnya melalui penyemprotan disinfektan. Jika hanya menyemprot sekali dalam sebulan maka tidak akan berguna. Tapi jika ada dana APBN/APBD cukup besar, penyemprotan bisa cukup sering, sehingga kebutuhan disinfektan melonjak. "Pelaku usaha sanitasi ikut tertolong,” kata dia.

Dilanjutkan Dradjad, negara bisa juga melakukan kampanye kebersihan yang masif. Ini berpotensi meningkatkan kebutuhan tisue, sabun, shampoo bahkan hingga alkohol untuk kebersihan. Industri media juga kebanjiran iklan layanan masyarakat dari APBN maupun dari CSR perusahaan besar.

Menurut Dradjad, orang sering salah kaprah menganggap lockdown akan menghancurkan ekonomi. Dijelaskannya,  ekonomi memang akan mandeg sebentar. Tapi sesuai UU 6/2018 tentang kekarantinaan kesehatan, kebutuhan hidup dasar di wilayah karantina menjadi tanggung jawab pemerintah pusat. Negara bisa memobilisasi sembako dan kebutuhan dasar lain, baik melalui APBN atau CSR perusahaan. Ini menjadi sumber permintaan bagi produsen di daerah non-karantina.

Dengan demikian, menurut Dradjad, masih banyak lagi rute penyelamatan ekonomi yang bersinergi dengan pencegahan wabah. 

Dradjad mengingatkan, akibat COVID-19 membuat Indonesia kehilangan SDM profesional, mulai dari dokter, pengusaha, profesor hingga birokrat dan pilot. Ini merupakan tragedi keluarga, dan sekaligus kerugian ekonomi nasional masa depan.

"Jadi jangan ragu dengan langkah kesehatan, apalagi sudah ada perintah UU Kekarantinaan. Jika telat, khawatirnya nanti malah seluruh negara harus dikarantina seperti Italia,” ungkap Dradjad.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement