Kamis 26 Mar 2020 08:55 WIB
Perang Aceh

26 Maret 1873: Perang Aceh Dimulai

Kisah awal perang Aceh

Pembantaian penduduk di Gayo Alas dalam Perang Aceh. pemimpin pembantaian itu adalah Van Daalen.
Foto: gahetna.nl
Pembantaian penduduk di Gayo Alas dalam Perang Aceh. pemimpin pembantaian itu adalah Van Daalen.

Oleh: Beggy Rizkiyansyah, Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa (JIB)

Adat ban adat hukom ban hukom, adat ngon hukom sama kembar; tatkala mufakat, adat ngon hukom, nanggroe senang hana goga (adat menurut adat, hukum syariat menurut hukum syariat, adat dengan hukum syariat sama kembar; tatkala mufakat adat dengan hukum itu negeri senang tiada huru-hara) – Teungku Chik Kutakarang dalam kitab Tadhkirat al-Radikin (1889)

Pepatah ulama Aceh ini muncul ketika Perang Aceh meletus pada 26 Maret 1873. Perang dahsyat ini berlangsung setidaknya hingga 40 tahun. Melibatkan Aceh, satu bangsa yang melawan dengan gigih berdasarkan semangat perjuangan di jalan Allah, melahirkan pahlawan-pahlawan dengan nama yang masyhur di tanah air.

Dalam rangka memperingati meletusnya Perang Aceh, Jejak Islam untuk Bangsa (JIB) mempersembahkan rangkaian tulisan mengenang Perang Aceh. Begini salah satu bagian tulisannya:

 

                          ****

Kesultanan Aceh adalah salah satu kekuasaan besar yang pernah hadir di Nusantara. Jejaknya ada hingga ratusan tahun. Aceh menjadi salah satu Kesultanan yang berpengaruh hingga menjadi pusat kebudayaan Islam di tanah air. Kesultanannya mencapai kejayaan pada masa Sultan Iskandar Muda. Kesultanan menjadi pusat perdagangan sekaligus pengajaran Islam di Nusantara. Pasca wafatnya Sang Sultan, Aceh perlahan meredup kejayaannya. Meski demikian Kesultanan ini masih dapat bertahan hingga lebih dari 200 tahun kemudian, ketika kolonialisme Belanda akhirnya meluluh lantakkan Kesultanan Aceh pada abad ke-20.

 Pada abad ke-19, Aceh tidak lagi mengecap masa jayanya. Meski demikian, hingga pada paruh pertama abad ke-19, Aceh tetap merupakan kekuasaan yang berdaulat ditengah-tengah bercokolnya Pemerintah Hindia Belanda di Jawa dan sebagian Sumatera.

 Kesultanan Aceh terdiri dari wilayah pusat kekuasaan dan daerah-daerah taklukan mereka. Menjelang meletusnya perang Aceh, Kesultanan Aceh terdiri dari Aceh Besar, yaitu daerah sepanjang sungai Aceh yang terbagi atas tiga wilayah yang disebut ‘sagi.’ Setiap sagi diberi nama sesuai jumlah mukim yang dimilikinya. Mukim XXII (artinya mereka memiliki 22 mukim), Mukim XXV, Mukim XXVI, dan bagian-bagian yang terletak di selatan Mukim XXV, yaitu Lho’nga, Leupueng, dan Lhong.

Selain itu Kesultanan Aceh juga terdiri dari daerah-daerah taklukan di luar Aceh Besar yang terletak di pantai barat, pantai timur dan pantai utara ujung pulau Sumatera. Wilahyah ini terdiri atas kerajaan-kerajaan kecil yang otonom ataupun yang merupakan federasi. Sultan Aceh sendiri berkuasa langsung atas daerah yang dikuasainya di kawasan istana sebagai ‘Dalam.’ Pihak Belanda menyebutnya ‘keraton,’ Satu istilah yang menggambarkan betapa pengetahuan Belanda tentang kekuasaan hanya terbatas dan mengacu pada istilah dari Jawa. Selain wilayah ‘Dalam’, Sultan Aceh juga berkuasa langsung di Pekan Aceh, Kampung Merduati, Kampung Jawa, Kampung Pande dan Kampung Pedah.

Wilayah lain (wilayah taklukan) dikendalikan oleh para raja kecil atau Uleebalang. Mereka membayar upeti pada Sultan Aceh. Kekuasaan diresmikan dengan surat pengukuhan atau piagam yang disebut sarakata yang dibubuhi stempel Cap Sembilan. Surat ini memberi legitimasi kepada mereka untuk memerintah sesuai adat.

Dari wilayah-wilayah inilah kekuasaan Kesultanaan Aceh terbangun. Pada akhir abad ke-19, Kesultanan Aceh bukanlah satu kekuasaan federal yang kuat. Aceh Besar dan ratusan wilayah taklukannya disebut sebagai negeri atau naggroe. Di Aceh besar, negeri federasi yang disebut sagi di atas, dipimpin oleh ketua federasi yang disebut Panglima Sagi. Di bawahnya, para Uleebalang memerintah daerah masing-masing. Di antara para pemimpin sagi yang berpengaruh adalah Panglima Polem yang merupakan keturunan Sultan Iskandar Muda dari Istri bukan permaisuri yang berasal dari Abisinia (Etiopia).

 Setiap sagi menurut Teungku Chik Kutakarag dalam Tadhkirat al-Radikin dipimpin oleh pemimpin sagi yang memerintah dengan hukum adat. Di setiap sagi ada ulama besar yang memegang hukum syariat. Ulama memang menjadi sosok berpengaruh lainnya dalam kepemimpinan masyarakat di Aceh selain Sultan dan Uleebalang. Para pemimpin adat dan agama dalam ketiga sagi tersebut berjumlah 18 orang. Mereka inilah yang disebut ahlul-halli wa ‘l-‘aqdi. Mereka yang membaiat dan mengangkat Sultan Aceh.

Secara umum pembagian fungsi dalam kesultanan Aceh pada pertengahan abad ke-19 menjelang perang terbagi atas beberapa jabatan:

  1. Sultan (di bawah umur dan dalam pengasuhan Mangkubumi)
  2. Habib Abdurrahman Az-Zahir, Mangkubumi atau semacam Perdana Menteri merangkap Wali Raja dan bertanggung jawab sebagai Menteri Luar Negeri.
  3. Panglima Polem, Panglima Sagi XXII Mukim, tertinggi dari tiga panglima sagi. Dia berwenang memimpin perundingan untuk menetapkan pengangkatan Sultan.
  4. Panglima Tibang, Syahbandar.
  5. Imam Leungbata, selain Uleebalang mukim Longbata, juga panglima perang.
  6. Teuku Kali Maliku’l – ‘Adil, Uleebalang Sultan, terdiri dari 12 kampung di kanan sungai Aceh, juga kepala Agama.
  • Panglima Tibang. Sumber foto: Wikimedia

 

             *****

Pembagian kekuasaan tadi tak dapat disangkal menjadi persaingan beberapa tokoh berpengaruh. Terlebih kekuasaan Sultan Ibrahim Mansur Syah (1850 – 1870) berkuasa setelah berkonflik dengan Sultan Sulaiman. Sultan Sulaiman adalah ipar dari Teuku Ba’et yang berkuasa di wilayah pengunungan Mukim XXII dan kekuasaannya hanya bisa ditandingi oleh Panglima Polem . Teuku Ba’et menolak untuk berbaikan dengan Sultan Ibrahim dan menjaga janda Sultan Sulaiman dan putranya yang masih kecil yaitu Mahmud. [

 

Panglima Polem sendiri berhubungan baik dengan Teuku Ba’et yang kubunya berseberangan dengan Sultan Ibrahim. Sultan Ibrahim kemudian wafat pada 1870. Konflik dalam kekuasaan kesultanan Aceh ini didamaikan oleh seorang asing, Habib Abdurrahman Az-Zahir yang datang pada tahun 1864. Berkat pengetahuannya yang sangat luas dan kepribadiannya yang memukau ia segera menjadi cendikiawan Istana dan menjadi Kepala Masjid Raya. Ia kemudian menikahi janda Sultan Sulaiman dan membawa Mahmud, putra mendiang Sultan Sulaiman ke dalam Istana.[11] Mahmud lah yang kelak menggantikan Sultan Ibrahmi Mansur Syah sebagai Sultan Aceh.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement