Kamis 26 Mar 2020 07:17 WIB

Stimulus Ekonomi Wabah Covid-19: Rupiah Versus Dolar AS

BI keluarkan stimulus menghadapi penurunan nilai tukar rupiah.

Praktisi Media, Elba Damhuri saat menyampaikan materi pada diskusi Temu Wartawan, yang digelar oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Hotel PO, Semarang, Selasa (17/9). Dalam paparannya, media digital memiliki masa depan cerah dan media cetak tetap memiliki peluang untuk tetap hidup.
Foto: Republika/Bowo Pribadi
Praktisi Media, Elba Damhuri saat menyampaikan materi pada diskusi Temu Wartawan, yang digelar oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Hotel PO, Semarang, Selasa (17/9). Dalam paparannya, media digital memiliki masa depan cerah dan media cetak tetap memiliki peluang untuk tetap hidup.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Elba Damhuri*)

Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan mata uang asing lainnya menjadi sorotan utama belakangan ini terkait wabah covid-19. Rupiah menjadi salah satu mata uang yang alami pelemahan cukup tinggi.

Sejak wabah covid-19 melanda Indonesia, nilai tukar rupiah mengalami penurunan cukup dalam. Jika pada Desember 2019 rupiah masih berada di level 13.400-an per dolar AS, saat ini sudah di angka Rp 16.500 per dolar AS.

Ini menjadi angka psikologis bagi ekonomi Indonesia. Pada Juni 1998 ketika krisis moneter menerpa Indonesia, rupiah pun melemah sangat dalam hingga tembus 16.650 per dolar AS.

 

Pada Senin (23 Maret) lalu, rupiah bercokol di 16.550 atau hanya butuh 10 poin saja untuk menyamai rekor pelemahan saat krisis moneter 1998. Pada Selasa (24 Maret), rupiah mulai menguat dan meninggalkan zona psikologis krisis moneter 1998.

Pasar keuangan global memang jauh dari kata stabil sejak wabah covid-19 dinyatakan pandemi. Presiden Donald Trump langsung mengumumkan paket stimulus ekonomi AS memerangi covid-19. Akibatnya, uang pun mengalir deras kembali ke rumahnya.

Indonesia ikut merasakan kebijakan stimulus Trump ini. Bank Indonesia (BI) mencatat aliran modal asing yang keluar dari Indonesia hingga tengah Maret 2020 saja sudah mencapai Rp.105,1 triliun. Hingga 24 Maret, aliran modal asing keluar mencapai Rp.125,2 triliun.

Gubernur BI Perry Warjiyo merinci dana keluar itu terdiri dari aliran modal asing yang keluar dari pasar Surat Berharga Negara (SBN) Rp.92,8 triliun, pasar saham Rp.8,3 triliun, dan sisanya dari obligasi korporasi.

Keluarnya modal asing ini tidak diimbangi masuknya investasi ke portofolio dalam negeri. Jika pada Februari 2020 uang masuk masih sampai 5,1 miliar dolar AS, maka hingga tengah Maret ini duit asing yang datang hanya 365 juta dolar AS.

Ada ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran, antara suplai dan demand. Ujung-ujungnya, rupiah pun melemah hingga mendekati angka psikologis krisis 1998.

Dalam situasi seperti ini, banyak kaum awam bertanya, berapa sih sebenarnya nilai tukar rupiah atas dolar AS? Apakah mungkin bisa mencapai 17.000, 18.000, atau 10.000 lagi seperti sebelumnya?

Ini jenis pertanyaan yang mudah diungkapkan tetapi sulit dijawab. BI sendiri tidak pernah dan tidak boleh memberikan clue nilai riil rupiah pada situasi apapun. BI hanya menjaga stabilitas rupiah pada nilai fundamentalnya.

Stimulus Bank Indonesia (BI)

Merespons perkembangan yang terjadi saat ini di pasar keuangan dalam negeri, BI meluncurkan stimulus moneter. Ini menjadi stimulus pertama yang keluar ketika wabah covid-19 makin luas di Indonesia.

Apa saja jurus BI melawan pandemi covid-19 ini dan pelemahan rupiah ini?

Pertama, BI memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah dan otoritas lain dalam melakukan langkah-langkah stabilisasi nilai tukar rupiah dan memitigasi dampak risiko covid-19 terhadap perekonomian domestik.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan telah dan akan terus meningkatkan ruang stimulus fiskal dan memberikan kemudahan berusaha di sektor riil termasuk kegiatan pariwisata dan ekspor-impor, sehingga dapat menopang pertumbuhan ekonomi.

Kedua, BI konsisten menjaga stabilitas moneter, nilai tukar rupiah, dan pasar keuangan, serta mendorong momentum pertumbuhan ekonomi.

Sementara Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menempuh kebijakan untuk melakukan stabilisasi pasar saham serta terus memperkuat ketahanan industri perbankan dan jasa keuangan lain.

Ketiga, BI meningkatkan intensitas triple intervention agar nilai tukar rupiah bergerak sesuai dengan fundamentalnya dan mengikuti mekanisme pasar.

Untuk itu, BI menyatakan akan mengoptimalkan strategi intervensi di pasar DNDF, pasar spot, dan pasar SBN guna meminimalkan risiko peningkatan volatilitas nilai tukar rupiah.

Keempat, BI menurunkan rasio Giro Wajib Minimum (GWM) Valuta Asing Bank Umum Konvensional, dari semula 8% menjadi 4%, berlaku mulai 16 Maret 2020.

Penurunan rasio GWM Valas tersebut akan meningkatkan likuiditas valas di perbankan sekitar 3,2 miliar dolar AS dan sekaligus mengurangi tekanan di pasar valas.

Menurunkan GWM Rupiah sebesar 50 bps yang ditujukan kepada bank-bank yang melakukan kegiatan pembiayaan ekspor-impor, yang dalam pelaksanaannya akan berkoordinasi dengan Pemerintah.

Kebijakan ini diharapkan dapat mempermudah kegiatan ekspor-impor melalui biaya yang lebih murah. Kebijakan akan diimplementasikan mulai 1 April 2020 untuk berlaku selama 9 bulan dan sesudahnya dapat dievaluasi kembali.

Kelima, BI memperluas jenis underlying transaksi bagi investor asing sehingga dapat memberikan alternatif dalam rangka lindung nilai atas kepemilikan rupiah.

Keenam, BI menegaskan kembali bahwa investor global dapat menggunakan bank kustodi global dan domestik dalam melakukan kegiatan investasi di Indonesia.

 Ketujuh,BI memperpanjang tenor Repo SBN hingga 12 bulan dan menyediakan lelang setiap hari untuk memperkuat pelonggaran likuiditas rupiah perbankan, yang berlaku efektif sejak 20 Maret 2020.

Kedelapan, BI menambah frekuensi lelang FX swap tenor 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari 3 (tiga) kali seminggu menjadi setiap hari, guna memastikan kecukupan likuiditas, yang berlaku efektif sejak 19 Maret 2020.

Kesembilan, BI memperkuat instrumen Term Deposit valuta asing guna meningkatkan pengelolaan likuiditas valuta asing di pasar domestik, serta mendorong perbankan untuk menggunakan penurunan GWM valuta asing yang telah diputuskan Bank Indonesia untuk kebutuhan di dalam negeri.

Ini artinya, BI telah menempuh langkah-langkah kebijakan seperti penurunan suku bunga kebijakan, stabilisasi nilai tukar rupiah, injeksi likuiditas dalam jumlah yang besar baik likuiditas rupiah maupun valas, hingga mempermudah bekerjanya pasar uang dan pasar valas di domestik maupun luar negeri.

Juga, relaksasi ketentuan bagi investor asing terkait lindung nilai dan posisi devisa neto, pelonggaran makroprudensial agar tersedianya pendanaan bagi eksportir, importir dan UMKM.

Apakah Stimulus Ini Ampuh untuk Rupiah?

Paket stimulus ekonomi memang tidak mungkin langsung ampuh begitu dikeluarkan. Setiap paket stimulus ekonomi memerlukan waktu untuk merealisasikan tujuan-tujuannya.

Ini berlaku juga bagi stimulus moneter oleh BI dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah. Memang, beberapa saat setelah stimulus moneter ini keluar, nilai rupiah sempat menguat di awal Maret sampai akhirnya mengalami depresiasi dalam hingga pekan ketiga Maret ini.

Untuk jangka pendek pendek ini, stimulus moneter ini dimaksudkan untuk menjaga stabilitas rupiah. Intervensi aktif BI di pasar uang menjadi sangat penting meskipun rupiah kini berada di posisi tertinggi setelah era reformasi.

Stimulus ini baru terasa berdampak untuk jangka pendek-menengah, menjaga agar suplai dan demand atas mata uang asing tetap oke. Jika aliran modal keluar Indonesia terus terjadi tentu rupiah pun akan terus melemah.

Yang paling utama, stimulus moneter ini bukan satu-satunya jurus dalam memperbaiki ekonomi pada situasi seperti ini. Kebijakan ini harus in line dengan sektor lain terutama fiskal, finansial, sektor riil, UMKM, dan industri kecil sampai besar.

*) penulis adalah Redaktur Pelaksana Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement