Rabu 25 Mar 2020 07:09 WIB

Pandangan Syariah Soal Work From Home

Menghindarkan paparan virus melalui WFH lebih didahulukan.

Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Oni Sahroni.
Foto: Republika/Prayogi
Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Oni Sahroni.

REPUBLIKA.CO.ID, diasuh oleh Dr Oni Sahroni, MA, Anggota Dewan Syariah Nasional MUI

---------

Baca Juga

Assalamualaikum wr wb.

Karena wabah Covid-19, banyak perusahaan memutuskan untuk memberlakukan work from home (WFH) untuk sebagian karyawannya. Dengan bekerja dari rumah, karyawan terhindar dari potensi penularan virus korona, tetapi produktivitas perusahaan akan menurun. Bagaimana pandangan syariah terkait WFH ini?

Riyadi-Jakarta

------

Waalaikumussalam wr wb.

Menurut fikih, kebijakan perusahaan yang mengizinkan WFH bagi sebagian karyawannya sebagaimana aturan dari otoritas yang mengatur WFH ini menjadi pilihan yang lebih maslahat dan realistis sebagai pencegahan agar tidak tertular (terpapar) virus. Sebagaimana kaidah-kaidah fikih muwazanah, pesan Rasulullah SAW, kebijakan dan keteladanan 'Amru bin 'Ash.

Ada tiga alasan fikih yang bisa menjadi landasan kesimpulan tersebut, yaitu: 

Pertama, otoritas sebagai pihak berwenang mengukur tingkat paparan risiko virus dan membuat kebijakan pencegahannya, salah satunya dengan melakukan pembatasan sosial (social distancing) dan kebijakan tentang WFH. Dalam konteks perusahaan, baik sebagai karyawan ataupun manajemen, menghindarkan diri dari paparan virus dengan menerapkan kebijakan tersebut menjadi maslahat.

Sesungguhnya, jenis upaya pencegahan ini senapas dengan hadis berikut: Sebagaimana hadis Rasulullah SAW, "Umar sedang dalam perjalanan menuju Syam, saat sampai di wilayah bernama Sargh. Saat itu, Umar mendapat kabar adanya wabah di wilayah Syam. 

Abdurrahman bin Auf kemudian mengatakan pada Umar jika Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi, jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Al-Bukhari). Dan sebagaimana hadis Rasulullah SAW, "Yang sakit jangan mendekat kepada yang sehat." (HR Muslim).

Dan sebagaimana kebijakan dan keteladanan 'Amru bin 'Ash, "Saat kaum Muslimin ditimpa penyakit tha'un 'amwas, sahabat 'Amru bin 'Ash mengajak mereka keluar dan naik ke gunung. Dan membagi mereka menjadi beberapa kelompok dan melarang kontak dan bercampur di antara mereka. Mereka berada di gunung beberapa waktu hingga beberapa orang yang terinfeksi penyakit menjadi syahid dan yang lainnya kembali ke kota-kota."(Ibnu al-Atsir, al-Kamil fi at-Tarikh).

Kedua, dalam ushul fikih, kondisi sakit adalah kondisi khusus yang membuka ruang dispensasi (rukhsah), baik sakit atau kekhawatiran (yang nyata) terpapar sakit. Dalam beberapa kondisi, kewajiban, sunah, dan muruah boleh ditinggalkan karena sakit atau khawatir terpapar virus (kondisi darurat atau semidarurat). (Lihat Nadzariyyatu adh-dharurah, Wahbah az-Zuhaili, Dar al-Fikr, Beirut).

Seperti shalat Jumat yang bernilai fardhu 'ain boleh ditinggalkan (dan diganti dengan shalat Zhuhur) karena khawatir akan penularan virus yang didasarkan pada informasi dan pernyataan otoritas terkait. Sebagaimana dijelaskan Ibnu Qudamah, "Dan diperkenankan bagi orang yang khawatir (akan fisiknya—red) untuk meninggalkan shalat berjamaah dan shalat Jumat."

Ketiga, fikih muwazanah. Di satu sisi memberikan perlindungan kesehatan kepada karyawan itu menjadi keharusan. Di sisi lain, memastikan perusahaan berjalan dengan baik menjadi keniscayaan, salah satunya adalah produktivitas perusahaan. Kebijakan WFH tersebut menjadi isu karena banyak kegiatan usaha yang masih membutuhkan interaksi langsung (menuntut pekerjaan dilakukan di tempat tertentu).

Tanpa adanya interaksi, produktivitas tidak terjadi, dan karena perusahaan membayar pengeluaran yang sama (fixed cost) sedangkan output produktivitas turun secara drastis. Dalam fikih, kondisi ini juga tidak sesuai dengan salah satu maqashid bisnis, yaitu al-istirbah.

Menurut fikih muwazanah, kedua opsi tersebut tidak ideal, tetapi menghindarkan diri dari terpapar virus melalui kebijakan WFH itu lebih di dahulukan daripada menjaga produktivitas perusahaan secara sempurna (maslahat al-istirbah). Sebagaimana kaidah, "Mencegah mafsadah (kerusakan) harus didahulukan daripada mengambil kemaslahatan." (As-Suyuthi, Al-Asybah). Wallahu a'lam.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement