Selasa 24 Mar 2020 12:31 WIB

Mengenal Tradisi Muslim Bosnia, Ajvatovica

Tradisi Muslim Bosnia, Ajvatovica, sudah disemarakkan sejak berabad silam.

Mengenal Tradisi Muslim Bosnia, Ajvatovica. Para pemuda-pemudi di Donji Vakuf, Bosnia, merayakan Ajvatovica ke-509.
Foto: EPA/Fehim Demir
Mengenal Tradisi Muslim Bosnia, Ajvatovica. Para pemuda-pemudi di Donji Vakuf, Bosnia, merayakan Ajvatovica ke-509.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bosnia-Herzegovina terletak di Semenanjung Balkan, Benua Eropa. Secara geografis, kontur negara ini berbukit-bukit serta dialiri banyak sungai. Kesultanan Turki Utsmaniyah menguasai wilayah itu antara abad ke-16 dan 19.

Sejak saat itu dan bahkan hingga saat ini, jumlah umat Islam di sana menjadi signifikan. Menurut sensus tahun 2013, kira-kira 51 persen penduduk setempat merupakan Muslim. Di samping itu, terdapat pemeluk Kristen Ortodoks (31 persen) dan Katolik (15 persen).

Baca Juga

Salah satu ekspresi budaya islami yang berkembang di Bosnia-Herzegovina adalah Ajvatovica (baca: ayfatoviksa). Itu merupakan suatu festival tradisional yang digelar tiap tahun sejak lima abad silam.

Bahkan, Ajvatovica dikenal sebagai acara kultural Muslim terbesar di seluruh Benua Biru. Pada tahun lalu, misalnya, perayaan Ajvatovica dihelat di Donji Vakuf, suatu kota yang terletak beberapa kilometer dari kawasan Prusac—lokasi mula-mula tradisi ini diadakan.

 

 

Berawal dari legenda

Dženita Sarač Rujanac dalam artikelnya, “Ajvatovica: A Bridge Between Tradition and National and Religious Identity” (2013) menuturkan, Ajvatovica terinspirasi dari sosok Ajvaz-dedo.

Sekitar tahun 1463, sufi tersebut tiba untuk pertama kalinya di Prusac—yang dahulu bernama Akhisar. Dia datang dari Turki beriringan dengan rombongan balatentara Sultan Mehmed II Al-Fatih.

Menurut legenda setempat, penduduk Akhisar sebelumnya menderita kekeringan. Sebab, sumber air yang ada terhimpit sebuah batu raksasa.

Setelah mendengar keluhan warga lokal, Ajvaz-dedo lantas berjalan kaki menuju Bukit Suljaga. Jaraknya sekitar enam kilometer (km) dari pusat kota tersebut. Di sana, dia bertahan 40 hari lamanya untuk berdoa kepada Allah SWT sembari berharap agar masyarakat Akhisar dapat terbebas dari kesulitan.

Pada malam ke-40, salik itu tertidur di dekat batu yang menyumbat sumber air tersebut. Dia bermimpi menyaksikan dua ekor domba jantan saling bertarung.

Hentakan tanduk masing-masing hewan itu lantas membangunkannya. Begitu Ajvaz-dedo membuka matanya, dia melihat batu yang tadinya menutup jalan aliran air kini sudah terbelah dua.

Seketika, air memancar dan mengalir dari bawah bukit hingga ke seluruh rumah penduduk Akhisar melalui ribuan pipa kayu.

Rujanac menjelaskan, hingga kini batu raksasa itu masih dapat dijumpai di Bukit Prusac. Panjang retakan pada benda itu mencapai 74 meter. Batu itu sendiri memiliki tinggi 30 meter dan lebar tiga meter.

Melihat pada bentuknya, batu itu dahulu pernah menyatu sebelum terbelah dua. Untuk melestarikan cerita legenda Ajvaz-dedo, masyarakat setempat menggelar karnaval tahunan yang akhirnya populer dinamakan sebagai Ajvatovica.

 

Rutin digelar

Pada 29 Juni 2019 lalu, Ajvatovica digelar untuk ke-509 kalinya. Ribuan orang memadati jalan-jalan kota Donji Vakuf. Baik lelaki maupun perempuan, tua maupun muda dan anak-anak, semuanya bergembira ria di sana.

Acara dihelat sejak bakda subuh. Di antara mereka, terdapat peserta yang membawa sejumlah kuda yang dihiasi berbagai pernak-pernik. Bagi masyarakat Bosnia, hewan itu melambangkan kekuatan dan kemakmuran hidup. Menjelang siang, arak-arakan kian padat sehingga parade akbar mulai bergerak.

Menurut Rujanac, pawai tersebut menyimbolkan penaklukkan yang dilakukan Kesultanan Utsmaniyah atas wilayah itu berabad-abad silam.

Di tengah alunan musik tradisional dan nasyid, ada pula sejumlah peserta yang mengibarkan bendera. Warna dan rupanya macam-macam. Rujanac mengatakan, masing-masing bendera itu melambangkan tiap dzemat atau komunitas Muslimin setempat.

Namun, belakangan ini tak hanya bendera dzemat lokal yang dikibarkan, tetapi juga bendera-bendera mancanegara. Hal itu menegaskan, pemerintah dan masyarakat sana menyadari fungsi lain dari Ajvatovica yakni sebagai penarik wisatawan dunia.

Semakin mendekati batu raksasa di Bukit Prusac, iring-iringan mulai merapalkan doa. Orang-orang ikut mengamini setiap jeda munajat yang diucapkan bersama-sama. Rujanac menilai, sesi tersebut merupakan puncak dari keseluruhan acara Ajvatovica.

Begitu sampai di situs legendaris itu, seorang imam akan memimpin doa yang disebut feth—dari kata “al-Fath”, ‘kemenangan.’

 

Terimbas Perang Bosnia

Penyelenggaraan Ajvatovica sempat terhenti pada masa Perang Bosnia (1992-1995). Pertempuran tersebut merupakan luka tidak hanya dalam sejarah negeri itu, melainkan juga seluruh warga dunia beradab.

Dengan dalih penyatuan kembali Yugoslavia dalam Republik Srpska, orang-orang Serbia melakukan pembantaian terhadap etnis Bosnia dan/atau pemeluk Islam. Aksi keji tersebut merupakan suatu genosida terbesar pada zaman modern.

Dikatakan sebagai genosida, sebab pelaku bertujuan secara sistematis menghapus suatu bangsa etnis, yakni Bosnia yang mayoritasnya Muslim.

Pada 2010, menurut data Pengadilan Kejahatan Internasional untuk Pecahan Yugoslavia (International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia/ICTY), Perang Bosnia menelan sebanyak 104 ribu orang korban jiwa. Kebanyakan di antara mereka adalah warga sipil Muslim. Di luar itu, tak kurang dari 10 ribu orang Muslim Bosnia masih hilang atau tak jelas nasibnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement