Senin 23 Mar 2020 19:45 WIB

Sulianti Saroso, Pahlawan Kemanusiaan Pemberantas Cacar

Dokter Sulianto Saroso kini dikenal publik karena namanya yang digunakan rumah sakit.

RSPI Sulianti Saroso mengambil namanya dari dr Sulianti Saroso, wanita kelahiran 1917 yang mendedikasikan dirinya bagi kesehatan publik.
Foto: Republika/Putra M Akbar
RSPI Sulianti Saroso mengambil namanya dari dr Sulianti Saroso, wanita kelahiran 1917 yang mendedikasikan dirinya bagi kesehatan publik.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Rr Laeny Sulistyawati

Nama Rumah Sakit Pusat Infeksi (RSPI) Prof Dr Sulianti Saroso sebelumnya cukup jarang didengar. Setidaknya nama RSPI baru mencuat ketika negara menghadapi wabah penyakit yang serius, seperti flu burung, MERS, atau SARS.

Baca Juga

Merebaknya virus SARS-CoV2 (Covid-19) di Tanah Air pun akhirnya membuat nama RSPI kembali terdengar. Terutama setelah Indonesia mendeklarasikan adanya dua pasien pertama Covid-19.

Sulianti Saroso memang bukan nama sembarangan. RSPI mengambil namanya dari pahlawan kemanusiaan yang berkiprah di bidang kesehatan Indonesia. Bahkan selain namanya diabadikan menjadi tempat rumah sakit, ia juga diganjar penghargaan tertinggi Mahaputra.

 

Anindita Suroso, anak kandung Sulianti Saroso mengungkap kisah ibunya yang lahir pada 1917 lalu. Meski tak tahu persis semua kisah ibunya, ia mengenang almarhumah ibunya yang telah tiada pada 1991 itu aktif bergerak ke kantong gerilya di daerah Tambun, Gresik, Demak, hingga Yogyakarta untuk mengusahakan obat-obatan dan makanan.

Aksi pahlawan yang dilakukan oleh Syul, panggilan akrab Sulianti namun membuatnya ditahan oleh Pemerintah Kolonial Belanda selama dua bulan di Yogyakarta. "Almarhumah juga aktif dalam Organisasi Pemuda Putri Indonesia (PPI). Bersama dengan teman-temannya, ibu membentuk Laskar Wanita yang diberi nama Wanita Pembantu Perjuangan (WAPP)," ujarnya saat dihubungi Republika.co.id, Senin (23/3).

Kemudian, ibunya bersama dengan Utami Suryadarma dan Sukaptinah, mereka menjadi delegasi Indonesia di Kongres Wanita di India. Saat itu, ketiganya menumpang sebuah pesawat terbang milik industrialis Patnaik yang pada masa itu menjadi blockade runner.

Dita mengaku, sejak kecil ibunya menjadi anak yang paling pandai dari saudara-saudara lainnya. Bahkan, Dita mengenang ibunya sempat ingin melanjutkan kuliah di bidang teknik yaitu yang sekarang dikenal Institut Teknologi Bandung.

Ia menceritakan kakeknya yang juga dokter kemudian menasehati ibunya kalau perempuan berat menjadi seorang insinyur. Akhirnya, dia melanjutkan, almarhumah ibunya selepas lulus jenjang sekolah menengah pertama di Belanda kemudian bersekolah di Sekolah Tinggi Kedokteran (Geneeskundige Hoge School) di Batavia pada 1942.

Setelah tamat dari sekolah tersebut, ia menyebutkan Syul bekerja di bagian penyakit dalam Centrale Burgelijke Ziekenhuis, yang kini dikenal sebagai Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM). Berhenti dari RSCM, Sul kemudian bekerja di bagian penyakit anak RS Bethesda, Yogyakarta. Sejak bekerja di situ, Sul mendapatkan beasiswa dari UNICEF untuk memperdalam pengetahuan di bidang Kesehatan Masyarakat dan Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) di Inggris, Skandinavia, Amerika Serikat, dan Malaysia.

Dari perjuangannya menempuh dunia pendidikan, Syul berhasil mendapat ijazah Administrasi Kesehatan Rakyat dari Universitas London tahun 1965, dengan membuat disertasi berjudul "The Natural History of Enteropathogenic Escherechia Coli Infections". Setelah tamat, ia menyebutkan ibunya memulai kariernya di Kementerian Kesehatan dan menduduki berbagai macam jabatan.

Tahun 1967, Syul menjabat sebagai Direktur Jenderal Pencegahan, Pemberantasan dan Pembasmian Penyakit Menular (P4M) hingga tahun 1975. Dengan jabatan ini, Syul berhasil meyakinkan komisi internasional organisasi kesehatan dunia (WHO) bidang pemberantasan penyakit cacar, bahwa Indonesia terbebas dari wabah penyakit itu.

Kemudian di tahun 1975, Syul mengundurkan diri dari jabatannya dan diangkat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan. Setelah tiga tahun mengemban jabatan tersebut, Sul memutuskan untuk mengundurkan diri.

Usai pensiun pada 13 Desember 1978, Syul menjadi staf ahli Menetri Kesehatan. Karena dedikasinya di dunia kesehatan, tahun 1978, Syul diangkat menjadi  anggota badan eksekutif dan Ketua Health Assembly (Majelis Kesehatan). Dalam 25 tahun WHO berjalan, ia menyebutkan hanya ada dua orang perempuan yang terpilih sebagai Presiden Majelis Kesehatan Dunia, yaitu Rajkumari Amrit Kaur dari India dan Julie Sulianti Saroso.

Sebagai anak, ia merasa beruntung ibundanya yang berhasil membagi peran sebagai seorang yang berkontribusi di bidang kesehatan dan menyabet berbagai penghargaan namun tetap berhasil mendidik anak-anaknya.

"Ibu saya sendiri bilang beliau berhasil karena menjalani pernikahan bahagia dengan suami, dan anak-anaknya menjadi keluarga bahagia. Saya ingat banyak waktu untuk saya dan adik saya. Kami dibesarkan dengan cukup perhatian meski ibu saya sibuk, pulang pergi ke luar negeri untuk urusan konvensi WHO," katanya.

Ia mengungkap Syul meninggal pada  29 April 1991 di usia 73 tahun. Sejak kepergiannya itu, ia mengakui pejabat Kementerian Kesehatan sempat meminta izin kepada dirinya untuk mengabadikan nama ibunya sebagai nama tempat rumah sakit. Akhirnya, dia melanjutkan, nama Syul diabadikan sebagai nama Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso.

Tak hanya itu, ia mengungkap selama masa hidupnya, Syul telah menerima beragam penghargaan, di antaranya Piagam Pengabdian dan Jasa dalam meningkatkan Usaha Kesehatan dari Menteri Kesehatan, Piagam dari Pemerintah India atas jasanya dalam meningkatkan kesehatan masyarakat, Piagam Pegawai Teladan dari Menteri Kesehatan, Bintang Mahaputra Pratama dari Presiden RI tahun 1975. Selain itu, Bintang Penghargaan dari WHO South-east Asia Regional Committee, Piagam Penghargaan dari WHO Jenewa atas partisipasinya dalam membasmi penyakit cacar di dunia, Piagam dari IDI atas semangat pengabdiannya yang luar biasa kepada dunia kedokteran dan kesehatan Indonesia, Piagam Penghargaan dari Queensland Institute of Medical Research, Brisbane Australia.

"Saya merasa bangga dengan prestasi ibu saya dan bisa menjadi anak beliau," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement