Senin 23 Mar 2020 18:32 WIB

Importir Harapkan Rekomendasi Impor Bawang Putih Ditiadakan

RIPH akan memberikan kepastian keamanan produk yang diimpor.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Dwi Murdaningsih
Pekerja menyortir bawang putih asal China di pusat jual beli bawang kompleks pasar Legi Parakan, Temanggung, Jateng, Selasa (25/2/2020).
Foto: Antara/Anis Efizudin
Pekerja menyortir bawang putih asal China di pusat jual beli bawang kompleks pasar Legi Parakan, Temanggung, Jateng, Selasa (25/2/2020).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perkumpulan Pengusaha Bawang Nusantara (PPBN) berharap Kementerian Pertanian meniadakan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) untuk importasi bawang putih. Ketua PPBN, Mulyadi, meminta ada kesamaan kebijakan antara Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian.

Mulyadi menyampaikan, berdasarkan salinan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27 Tahun 2020 yang mengatur soal pembebasan izin impor bawang putih, semestinya RIPH tidak lagi dibutuhkan. Ia mengatakan, RIPH selama ini hanya dipergunakan sebagai syarat Surat Persetujuan Impor (SPI) atau izin impor yang diterbitkan Kemendag.

Baca Juga

RIPH, kata dia, juga tidak digunakan oleh Badan Karantina Pangan maupun Bea dan Cukai dalam proses pengecekan bawang impor ketika tiba di pintu masuk Indonesia. "Jika SPI tidak dipakai, untuk apa RIPH? Otomatis itu tidak digunakan lagi," kata Mulyadi kepada Republika.co.id, Senin (23/3).

Diketahui, Kementerian Pertanian melalui Direktorat Jenderal Hortikultura telah menyatakan bahwa RIPH tetap harus dimiliki setiap importir meskipun Kemendag telah memberikan relaksasi izin impor. Tanpa RIPH, stok bawang yang diimpor tidak diizinkan untuk beredar di Indonesia.

"Nanti, kalau kami sudah datangkan, lantas di karantina dipermasalahkan. Akhirnya kami, pelaku usaha dan konsumen yang menjadi korban atas ketidakharmonisan pemerintah," ujarnya.

Sikap PPBN, lanjut dia, tetap sama yakni berharap agar RIPH ikut ditiadakan. Sejak awal, PPBN sudah mengusulkan agar kewajiban RIPH dan SPI serta wajib tanam bawang putih digantikan dengan pos tarif, atau biaya tambahan yang dibebankan kepada importir. Hasil dari biaya tambahan itu bisa digunakan pemerintah untuk kebutuhan budidaya bawang putih di dalam negeri.

Ia mengakui, bahwa sikap PPBN tidak sama dengan asosiasi lainnya. Bagi PPBN seharusnya proses impor bawang putih tidak dipersulit agar ketersediaan pasokan terjaga dan harga bisa stabil tanpa harus terjadi gejolak setiap awal tahun.

Kewajiban RIPH dan SPI ditambah dengan wajib tanam oleh importir mulai diterapkan tahun 2017. Saat itu, penyebabnya lantaran harga bawang putih melonjak hingga Rp 90 ribu per kilogram. Mulyadi pun menjelaskan, kenaikan itu bukan lantaran ada kartel, namun terdapat gangguan produksi dari negara produsen.

Selain itu, hanya dua pelabuhan yakni Tanjung Perak dan Tanjung Priok yang hanya bisa menerima bawang putih. Lebih lanjut, ditambah dengan adanya kewajiban RIPH yang justru semakin memicu kenaikan harga karena mekanisme impor menjadi rumit.

Sementara itu, Pengamat Hortikultura, Anton Muslim, mengatakan, aktivitas importasi bawang putih maupun bawang bombai dengan menggunakan RIPH sudah tepat. Bagaimanapun, kata dia, RIPH akan memberikan kepastian keamanan produk yang diimpor.

"Menurut saya justru akan menjadi masalah kalau bawang dimasukkan tanpa izin dan rekomendasi," ujarnya.

 

Di satu sisi, Anton pun mengingatkan pemerintah bahwa masalah ini bersumber dari lambatnya birokrasi, baik di Kementerian Pertanian maupun Kementerian Perdagangan. Semestinya, jika penerbitan RIPH dan SPI sesuai jadwal dan tidak sulit, tidak akan menimbulkan masalah yang berkepanjangan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement