Senin 23 Mar 2020 00:39 WIB

Trump Vs Pakar Terkait Obat Covid-19

Perdebatan itu memunculkan kecemasan di AS.

Rep: Febryan. A/ Red: Agus Yulianto
Ilustrasi Novel Coronavirus (2019-nCoV) atau virus corona jenis baru yang disediakan dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (CDC via AP)
Foto: CDC via AP
Ilustrasi Novel Coronavirus (2019-nCoV) atau virus corona jenis baru yang disediakan dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (CDC via AP)

REPUBLIKA.CO.ID,  WASHINGTON -- Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump berdebat secara terbuka dengan pakar penyakit menular senior pemerintah, Dr Anthony Fauci, terkait keampuhan hydroxychloroquine atau obat malaria untuk mengobati orang terinfeksi virus corona (Covid-19). Mereka saling beradu argumen secara tatap muka dalam sebuah konferensi pers di Gedung Putih.

Dilansir AP, adegan itu ditayangkan secara langsung stasiun televisi nasional karena konferensi pers itu sebenarnya terkait penanganan Covid-19 di AS. Walhasil, perdebatan itu memunculkan kecemasan di AS karena terjadi antara seorang ilmuwan yang berlandaskan fakta dan seorang presiden yang bertindak berdasarkan naluri.

Kejadian itu bermula ketika seorang wartawan bertanya kepada keduanya terkait kemampuan obat malaria untuk mengobati pasien Covid-19. Padahal, sehari sebelumnya, Trump menyatakan bahwa obat itu bisa mengatasi Covid-19.

Pada konferensi pers bersama hari Jumat itu, Fauci menjawab pertanyaan lebih dahulu. Ia pun menjawab dengan lugas.

"Tidak. Jawabannya adalah tidak," kata Fauci menjawab soal keampuhan obat malaria tersebut untuk menangani Covid-19.

"Informasi yang Anda maksudkan secara spesifik adalah anekdotal (hanya terbukti pada beberapa percobaan)," kata Fauci menambahkan dengan tegas.

"(Penggunaan obat) itu belum diuji secara klinis yang terkontrol. Jadi, Anda benar-benar tidak dapat membuat pernyataan definitif tentang hal itu," ujarnya.

Fauci kemudian menjelaskan bahwa Food and Drug Administration (FDA) AS sedang mencari cara membuat obat yang bisa digunakan untuk kebutuhan darurat, tetapi dengan mengungkapkan ke pemerintah terkait keamanan dan keefektifan obat itu. 

Fauci adalah direktur Institut Nasional Alergi dan Penyakit Menular di Institut Kesehatan Nasional (NIH). Dalam kurun waktu 30 tahun lebih, ia telah menangani HIV, SARS, MERS, ebola, dan sekarang virus corona jenis baru.

Masih dilansir AP, hingga saat ini tidak ada obat yang secara khusus disetujui untuk mengobati Covid-19.

Ketika giliran Trump memberikan jawaban, ternyata dia mengaku tak setuju dengan anggapan bahwa tidak ada obat ajaib untuk Covid-19. "Mungkin saja bisa dan mungkin saja tidak," kata Trump. "Mungkin ada, mungkin tidak. Lihat saja nanti."

Trump berbicara dengan nada optimistis sembari berupaya menghindari konfrontasi langsung dengan Fauci. "Saya pikir tanpa melihat terlalu banyak, saya mungkin lebih menyukai itu," katanya, merujuk pada obat malaria. "Dan kita semua mengerti apa yang dikatakan dokter adalah 100 persen benar."

Namun, setelah itu Trump menambahkan, "Ini adalah obat yang kuat. Jadi, kita akan lihat."

Dikutip New York Times, antusiasme Trump terhadap obat-obatan itu menimbulkan kekhawatiran di antara dokter dan pasien (lupus dan penyakit lain) yang bergantung pada obat-obatan tersebut. Sebab, gagasan bahwa obat malaria lama itu dapat bekerja melawan virus corona telah beredar luas dalam beberapa pekan terakhir. Walhasil, stok mulai menipis karena banyak orang yang membeli obat tersebut.

"Para ahli reumatologi geram terhadap animo yang terjadi pada obat ini," kata Dr Michael Lockshin, dari Rumah Sakit untuk Bedah Khusus di Manhattan. 

“Orang kini berburu obat itu dan kami mendapat panggilan setiap beberapa menit dari pasien yang memang menggunakan obat itu, tetapi khawatir karena stoknya mulai terbatas,” kata Lockshin.

Hydroxychloroquine yang merupakan obat serupa dengan chloroquine dijual di seluruh dunia dengan berbagai merek dan nama generik. Obat ini bisa didapatkan dengan resep dokter di AS.

Beberapa ilmuwan melaporkan bahwa obat malaria itu dapat mengganggu virus corona jenis baru ketika hendak memasuki sel. Mereka mencoba obat itu dalam tabung reaksi dan penelitian kecil lainnya. Meski demikian, ilmuwan lain skeptis bahwa hasil tabung reaksi itu bakal ampuh ketika diberikan kepada pasien tertular Covid-19.

sumber : AP/New York times
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement