Jumat 20 Mar 2020 18:58 WIB

Sampah Masker Masalah Baru Bagi Lingkungan

Sampah masker tergolong dalam non-daur ulang yang mengancam lingkungan.

Sampah masker tergolong dalam non-daur ulang yang mengancam lingkungan (Foto: ilustrasi msyarakat pakai masker)
Foto: Antara/Fikri Yusuf
Sampah masker tergolong dalam non-daur ulang yang mengancam lingkungan (Foto: ilustrasi msyarakat pakai masker)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Archie Satya Nugroho dari Golimbah mengatakan, fenomena melonjaknya pembelian masker sekali pakai di Indonesia berpotensi menimbulkan masalah baru bagi lingkungan. Pasalnya, masker sekali pakai bersifat sampah non-daur ulang sehingga akan berakhir di tempat pembuangan sampah (TPS) liar, sungai dan laut.

"Selain itu, sampah masker juga berpotensi sebagai media penyebaran berbagai penyakit,” ujar Archie, pendiri sekaligus Chief Executive Officer (CEO), di Jakarta, Jumat (20/3).

Baca Juga

Golimbah, lanjut Archie, akan melakukan riset untuk menindaklanjuti masalah ini dengan mencoba menggabungkan teknologi hidrotermal dan pirolisis. Kemudian akan dilakukan beberapa kali tes untuk melihat sampah masker tersebut dapat berpotensi menjadi bahan yang lebih bernilai guna.

Lebih lanjut, Archie menambahkan, untuk prosesnya sendiri akan dilakukan dengan menggunakan temperatur sangat tinggi mulai 150 derajat Celcius hingga 500 derajat Celcius. Dengan demikian bakteri ataupun virus yang menempel pada masker tersebut akan mati.

“Terkait riset sampah masker sekali pakai ini sudah mulai sejak Maret dan ditargetkan akan selesai dalam waktu dua hingga tiga bulan ke depan. Pasalnya, dalam riset ini pengumpulan masker kami lakukan secara mandiri, tidak melalui donasi dan hal ini yang masih menjadi kendala karena kami harus berhati-hati,” ujarnya.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Enviromental Conservation Organization (Ecoton), Prigi Arisandi, mengatakan, masker sekali pakai yang dijual di pasaran umumnya terbuat dari bahan sintetis. Hal ini membuat masker masuk kategori sampah residu dan berpotensi menimbulkan pencemaran lingkungan.

"Masker di pasaran umumnya nonwoven (sintetis) sehingga masuk kategori sampah 'residu' yang pengolahannya harus di-dumping di TPA, sehingga untuk antisipasi jumlah sampah masker yang jumlahnya bakal melimpah maka pemerintah daerah dan kabupaten harus menyediakan layanan kontainer khusus sampah bekas masker," ujarnya.

Prigi mengungkapkan, minimnya informasi tentang efektivitas penggunaan masker sebagai alat antisipasi mencegah virus corona ini menjadi sebab utama pembelian secara massal. Padahal di sisi lain, pemakaian masker sendiri justru akan sia-sia jika tidak diiringi dengan upaya antisipasi lainnya.

Ia lebih lanjut mengatakan, ketidakadaan masker di pasaran bisa diantisipasi dengan masker buatan sendiri (handmade masker). Masker buatan sendiri bisa dibuat dengan filter partikulat.

"Untuk meningkatkan efektivitasnya kalau terbuat dari kain maka harus dibuat berlapis sebagai filter partikulat dan kelembaban kain harus tetap terjaga," ujarnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement