Jumat 20 Mar 2020 14:25 WIB

Pakar: Komisioner KPU Evi Dapat Gugat Tindakan DKPP

Ahli Hukum mengatakan komisioner KPU Evi Novida dapat menggugat tindakan DKPP.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bayu Hermawan
Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik (kanan)
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli Hukum Tata Negara Feri Amsari mengatakan, Evi Novida Ginting Manik dapat menggugat tindakan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Gugatan tersebut bukan terhadap substansi amar putusan DKPP, melaikan tindakan-tindakan lembaga itu yang dinilai melanggar administrasi pemerintahan sehingga menghasilkan putusan tersebut.

"Jadi sekali lagi bukan putusannya yang dipermasalahkan, tetapi proses kemudian timbulnya putusan itu yang dipermasalahkan di Peradilan Tata Usaha Negara," ujar Feri saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (20/3).

Baca Juga

Feri menuturkan, Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan membuka kesempatan bagi setiap warga menggugat tindakan yang tidak sesuai peraturan. Ada tiga jenis yang dapat digugat, antara lain, tindakan yang bukan kewenangannya, tindakan yang melebihi kewenangannya, dan tindakan yang sewenang-wenang.

Ia mendapatkan informasi, jika Evi menilai tindakan DKPP termasuk dalam tiga jenis yang dapat digugat itu. Lantas kemudian DKPP memutuskan penjatuhan sanksi pemberhentian tetap dari anggota KPU RI kepada Evi.

Feri melanjutkan, DKPP dianggap melampaui kewenangannya ketika menafsirkan sendiri putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Sementara Evi berpendapat, KPU RI melaksanakan amar putusan MK, sehingga KPU RI membatalkan keputusan KPU Kalimantan Barat terhadap penetapan Hendri Makalau sebagai calon legislatif terpilih.

Selain itu, kata Feri, DKPP dianggap melakukan tindakan yang sewenang-wenang karena hanya Evi saja yang dijatuhi pemberhentian tetap. Padahal segala kebijakan yang diambil KPU bersifat kolektif kolegial, secara bersama-sama dengan seluruh anggota.

Feri mengatakan, ketika PTUN mengabulkan permohonan perkara Evi, maka putusan DKPP tidak absah. Putusan DKPP batal karena tindakan DKPP sendiri yang dinilai melanggar peraturan.

Kemudian, apabila surat keterangan (SK) pemberhentian tetap sudah dikeluarkan presiden sebagaimana putusan DKPP yang memerintahkan dalam tujuh hari sejak pembacaan putusan, maka SK tersebut dapat dijadikan objek gugatan oleh Evi.

"Kalaupun  Evi berkonsentrasi ke SK pemberhentian itu juga bisa dilakukan olehnya. Jadi bukan DKPP-nya yang di ini (digugat), tapi SK pemberhentian, karena proses di DKPP dianggapnya melanggar undang-undang administrasi pemerintahan," kata Feri.

Feri menambahkan, Evi mempunyai hak mengajukan gugatan jika Evi menganggap tindakan-tindakan DKPP melanggar ketentuan. Sehingga, Evi akan mendapatkan jawaban dari proses pemeriksaan di PTUN.

"Saya enggak tahu ya DKPP mungkin melihat dari sisi yang berbeda dan bukti-bukti di persidangan (dugaan pelanggaran kode etik dan penyelenggara pemilu). Tetapi dengan penghematan saya langkah KPU untuk mematuhi putusan MK tentu jauh lebih penting karena puncak dari perselisihan hasil pemilu itu kan berada di MK," jelasnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement