Jumat 20 Mar 2020 05:22 WIB

Nafkah Keluarga

Musyawarah suami dan istri tentang kebutuhan finansial menjadi adab terbaik.

Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Oni Sahroni.(Republika/Prayogi)
Foto: Republika/Prayogi
Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Oni Sahroni.(Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, Konsultasi Syariah diasuh oleh Dr Oni Sahroni, MA, Anggota Dewan Syariah Nasional MUI

---------

 

Assalamualaikum wr wb.

Dengan kondisi saat ini, ketika para istri ikut bekerja karena hajat masyarakat akan kiprah kaum hawa atau karena tingginya kebutuhan finansial keluarga. Jadi, sebenarnya, nafkah itu tanggung jawab siapa? Jika suami bekerja, apa saja kebutuhan keluarga yang harus menjadi nafkah suami?

Ria -Yogyakarta

-----

Waalaikumussalam wr wb.

Pada dasarnya, nafkah keluarga menjadi tanggung jawab suami. Tetapi, saat istri ikut serta bekerja, itu diperkenankan (dengan adab-adabnya). Tidak ada angka minimum nafkah, tetapi merujuk pada kelaziman dan kemampuan suami, respons qanaah dan syukur atas rezeki menjadi adab terbaik.

Pertama, (a) pada dasarnya, nafkah keluarga menjadi tanggung jawab suami (ayah) selama berstatus suami-istri (sebagaimana pendapat Zhahiriyah). Sebab, selain kapasitas suami sebagai pemimpin, tanggung jawab itu juga adalah amanah Alquran: "... Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara makruf.” (QS al-Baqarah: 233).

Al-Mauludi lahu dalam ayat di atas adalah ayah dari anak-anak dan suami dari istri. Oleh karena itu, Ibnu Qudamah melansir, ulama telah berkonsensus bahwa suami yang bertanggung jawab atas nafkah keluarga.

Juga saat nafkah menjadi kewajiban suami, maka amanah rumah (termasuk pendidikan anak) menjadi tanggung jawab utama istri. Pembagian tugas yang seimbang dan proporsional.

(b) Tetapi, saat istri ikut serta bekerja, itu diperkenankan menurut Islam dengan memenuhi adab-adab sebagai Muslimah, tidak melalaikan tugas utamanya sebagai istri dan ibu, atas izin suami, serta pembagian tugas di rumah yang proporsional.

Kebolehan tersebut agar bisa memenuhi kebutuhan finansial keluarga dan agar memenuhi hajat masyarakat akan kiprah kaum hawa. Saat tanggung jawab maisyah dipikul bersama, maka tanggung jawab rumah (termasuk pendidikan anak-anak) juga dipikul bersama.

Kedua, tidak ada angka minimum dan spesifik jenis nafkah yang harus disediakan, tetapi hal tersebut merujuk pada kemampuan dan kelaziman/tradisi di masyarakat tempat tinggalnya. Sebagaimana tuntunan nas: "Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak membebani seseorang melainkan (sesuai) dengan apa yang Allah berikan kepadanya." (QS ath-Thalaq : 7).

Dan hadis Rasulullah SAW: "Dan hak mereka (istri-istri) atas kalian adalah menafkahi mereka dan menyandangi mereka dengan cara-cara yang baik." (HR Muslim).

Ma'ruf dalam nas tersebut adalah tradisi/kelaziman yang mungkin berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya. Kebutuhan asasi (primer dan sekunder) setiap keluarga, maqashid syariah menjadi salah satu contoh kelaziman tersebut.

Peraturan perundang-undangan menjelaskan lebih detail: sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri, biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak serta biaya pendidikan bagi anak (KHI Pasal 80 ayat 2 dan 4). 

Suami memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya (UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 34 ayat 1 & 2).

Selanjutnya, musyawarah, saling memahami dan saling merelakan antara suami dan istri untuk menentukan kebutuhan finansial itu menjadi adab terbaik seorang suami dan istri sebagaimana tuntunan Rasulullah SAW: "Yang toleran (mempermudah) jika menjual, toleran jika membeli, dan toleran jika melakukan tuntutan.” (HR Bukhari).

Ketiga, jika suami tidak bisa memenuhi kebutuhan finansial tersebut, baik karena keterbatasan pendapatan atau besarnya tanggung jawab nafkah, sesungguhnya Allah SWT tidak membebani hamba-Nya di luar kemampuannya selama telah berikhtiar maksimal. Selanjutnya, keluarga meresponsnya dengan penuh syukur kepada Allah SWT. Semoga Allah SWT Memudahkan dan meridhai setiap ikhtiar kita. Amin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement