Kamis 19 Mar 2020 17:18 WIB

Pengusaha: Rupiah Anjlok Bukan Hanya Karena Virus Corona

Quantitative easing The Fed memicu pelemahan nilai tukar rupiah.

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Friska Yolandha
Petugas menghitung uang rupiah di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Kamis (19/3). (Thoudy Badai/Republika)
Foto: Thoudy Badai/Republika
Petugas menghitung uang rupiah di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Kamis (19/3). (Thoudy Badai/Republika)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin hari semakin anjlok. Hari ini, (19/3), mata uang Indonesia tersebut sudah menembus Rp 15.800 per dolar AS. 

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai, pelemahan rupiah itu tidak hanya dikarenakan wabah corona yang semakin menyebar di Tanah Air. Pelemahan juga sebagai dampak dari kebijakan quantative easing dari The Fed. 

Baca Juga

"Sehingga tekanannya semakin besar terhadap Indonesia," ujar Wakil Ketua Kadin Indonesia Shinta Widjaja Kamdani kepada Republika.co.id pada Kamis, (19/3).

Secara umum, lanjutnya, pelemahan nilai tukar akan mendorong ekspor dan menekan impor. Hanya saja, dalam kondisi saat ini, ekspor tidak terpacu terlalu tinggi karena pasar sedang sangat tertekan dan kebijakan lockdown dari berbagai negara, turut menghambat suplai serta kelancaran ekspor nasional. 

 

Di sisi lain, kata dia, impor juga tertekan sebab lebih mahal dibandingkan kondisi normal. Apalagi permintaan pasar domestik ikut turun dibandingkan periode-periode sebelumnya. 

"Lagipula, karena wabah (corona) permintaan terhadap produk-produk manufaktur yang merupakan kebutuhan nonprimer juga tertekan. Namun, kami perkirakan impor akan tetap terjadi, selama industri dan kegiatan ekonomi nasional tidak di-shutdown total oleh pemerintah sebagai respon terhadap wabah," ujar Shinta.

Industri manufaktur, tuturnya, juga bakal tetap mengimpor bahan baku atau bahan penolong selama industri tetap dibolehkan terus berproduksi. "Aktivitas impornya kemungkinan besar akan turun secara signifikan tetapi tidak sebesar penurunan di bulan lalu, karena China sudah normalisasi sehingga impor yang terhambat dari China bisa masuk untuk memenuhi kebutuhan industri, ekspor, maupun untuk kebutuhan pasar domestik," jelas dia.

Shinta melanjutkan, keefektifan berbagai stimulus yang telah diumumkan sebelumnya, sangat tergantung dengan seberapa cepat stimulus tersebut dijalankan di lapangan. Bergantung pula pada pemakaian stimulusnya, berapa lama dan seberapa severe wabah ini akan berlangsung di Indonesia. 

Menurutnya, relaksasi impor belum terjadi secara signifikan karena kebijakan relaksasinya dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) dan kementerian terkait memerlukan waktu, sehingga baru mulai hari ini untuk komoditas bawang. Sedangkan untuk komoditas lain belum dan ditargetkan baru terjadi di awal April.

Wabah corona sendiri belum terlihat akan terkontrol dalam waktu dekat di Indonesia. Dengan begitu tekanan dan dampak terhadap ekonomi nasional pasti lebih luas dan lebih dalam dibandingkan saat ini.

"Tapi akan seluas apa atau sedalam apa belum bisa kita prediksi sekarang. Ini tergantung juga dengan respons negara lain terhadap wabah di negaranya dan di Indonesia," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement