Kamis 19 Mar 2020 07:08 WIB

Dolar AS Perkasa Ketika Ketakutan Covid-19 Picu Krisis

Banyak mata uang mencapai posisi terendah multi-tahun terhadap dolar AS

Warga menukarkan mata uang dolar AS di sebuah gerai money changer. ilustrasi (Antara/Galih Pradipta)
Foto: Antara/Galih Pradipta
Warga menukarkan mata uang dolar AS di sebuah gerai money changer. ilustrasi (Antara/Galih Pradipta)

REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Dolar AS melonjak terhadap sekeranjang mata uang lainpada akhir perdagangan Rabu (18/3) atau Kamis (19/3) pagi WIB. Penguatan dolar AS dipicu kekhawatiran perusahaan dan investor terhadap wabah Covid-19.

Indeks dolar AS, yang mengukur kekuatan greenback terhadap sekeranjang enam mata uang utama lainnya, naik sekitar 1,69 persen menjadi 101,08, tertinggi sejak April 2017. Indeks ini pada laju untuk lompatan satu hari terbesarnya sejak 24 Juni 2016.

Baca Juga

Banyak mata uang mencapai posisi terendah multi-tahun terhadap dolar AS, termasuk poundsterling Inggris, dolar Australia, dan dolar Selandia Baru. Tanda-tanda tekanan ada di mana-mana ketika bank-bank sentral global melanjutkan upaya untuk menjaga pasar uang berfungsi normal.

"Dalam nada yang sama dengan konsumen mengosongkan rak di toko-toko kebutuhan pokok, investor dan perusahaan memperlakukan greenback dengan cara yang sama, melahapnya dengan status sangat likuid," kata Joe Manimbo, analis pasar senior, di Western Union Business Solutions di Washington, seperti dikutip oleh Reuters.

Dolar telah melonjak terhadap mata uang mitranya dalam beberapa hari terakhir meskipun ada dua penurunan suku bunga darurat oleh Federal Reserve AS bulan ini, yang telah membawa suku bunga AS turun ke nol. Indeks dolar naik lebih dari enam persen selama tujuh sesi perdagangan terakhir.

Bank Sentral Eropa, Bank Sentral Inggris dan Bank Sentral Swiss semuanya mengadakan penjualan likuiditas dolar pada Rabu (18/3), sebagai bagian dari suntikan dana terkoordinasi terbesar oleh bank sentral sejak krisis keuangan 2007-2009.

Tingginya permintaan dalam lelang ini membuat beberapa orang gelisah di pasar uang, tetapi beberapa analis mengatakan bahwa karena sifat kekurangan dolar yang meluas, jalur swap The Fed dengan bank-bank sentral utama mungkin tidak cukup.

"Meskipun langkah-langkah agresif oleh bank sentral untuk memastikan likuiditas dan pemulihan saluran seperti fasilitas pendanaan kertas komersial (commercial paper) The Fed, semua ditujukan untuk membendung kepanikan, ada kemungkinan bahwa dolar akan tetap kuat sampai ada tanda-tanda bahwa krisis virus corona telah telah teratasi,” kata Jane Foley, ahli strategi senior valas di Rabobank, dalam sebuah catatan.

The Fed mengatakan pada Selasa (17/3) akan mengembalikan fasilitas pendanaan yang digunakan selama krisis keuangan 2008 untuk mendapatkan kredit secara langsung ke bisnis dan rumah tangga.

Pasar telah runtuh bulan ini karena investor melikuidasi hampir semuanya aset mereka untuk uang tunai, menaikkan nilai dolar AS dan biaya meminjam greenback di luar negeri. Mata uang yang terpapar ekspor bernasib sangat buruk terhadap greenback.

Dolar Australia merosot ke level terendah 17-tahun baru 0,5702 dolar pada Rabu (18/3), sementara dolar Selandia Baru menyentuh level terendah dalam 11 tahun terakhir, yakni mendekati 0,5697 dolar AS. Poundsterling jatuh 3,73 persen menjadi 1,16 dolar AS, terendah sejak Oktober 2016.

Bahkan mata uang lain yang dipersepsikan safe-haven melemah terhadap greenback, dengan yen Jepang turun 0,4 persen dan franc Swiss turun sekitar 0,8 persen. Dolar Kanada melemah ke level terendah empat tahun terhadap greenback pada Rabu (18/3) karena harga minyak jatuh.

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement