Rabu 18 Mar 2020 22:14 WIB

Level Tertinggi Lupa dalam Beragama dan Taubat Penangkalnya

Level tertinggi lupa menurut agama adala melupakan Sang Khaliq.

Level tertinggi lupa menurut agama adala melupakan Sang Khaliq. Beribadah ilustrasi
Level tertinggi lupa menurut agama adala melupakan Sang Khaliq. Beribadah ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Telinga kita tentu tidak asing dengan istilah lupa, kondisi tidak ingat keadaan diri atau sekelilingnya. Ada tiga jenis lupa yang dialami manusia. 

Pertama, lupa hal-hal sepele, seperti lupa makan atau lupa di mana menaruh barang. Lupa jenis ini manusiawi belaka. Tetapi, ada jenis lupa yang berbahaya. Misalnya, lupa tugas atau tanggung jawab. Dampaknya tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga orang lain. 

Baca Juga

Tentu yang paling berbahaya dan bahkan mengundang azab Allah ialah lupa jenis ketiga, lupa diri dan agama. Kondisi ini menyebabkan manusia turun derajat dari makhluk mulia ke level paling hina.

Sebagaimana diwartakan Allah dalam Alquran sebagai berikut, “Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam bentuk sebaik-baiknya. Kemudian Kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka).” (QS At-Tin [95: 4-5]).  

Bercermin diri seraya memperbanyak taubat, itulah ajaran yang harus dipraktikkan orang beriman. Introspeksi menjadi sarana mujarab untuk melawan lupa. Sementara, taubat jelas alat pembersih dosa dan kesalahan. Taubat, menurut ulama, adalah menyadari, menyesali, dan berjanji pada diri sendiri untuk tidak mengulangi dosa dan kesalahan serupa.

Bukanlah taubat jika satu dari ketiga syarat itu hilang. Taubat pincang itu disebut sebagai taubat sambal alias kapok lombok. Taubat yang diterima Allah, itulah taubatan nasuhah, yang berdampak positif dahsyat pada pelakunya. Menjalani hidup di era serba digital sungguh tidak mudah. Keluarlah rumah, bacalah koran, lihatlah internet. Betapa jebakan kemaksiatan tersebar di segala penjuru arah. Jika kita tidak ekstrawaspada, bukan mustahil akan terseret ke lumpur dosa. Karena itu, kita harus mampu memelihara kepekaan dan sensitivitas nurani. Tidak kalah penting, untuk terus berusaha memahami dan mengamalkan doa yang setiap shalat kita baca,” Ya Allah, tunjukkanlah kami ke jalan yang lurus.”

Lupa muncul karena manusia sembrono dalam mengeja kehidupan. Hatinya tidak terjaga sehingga menjadi gelap. Hati yang gelap disebut zulmun (kezaliman) dan pelakunya bernama zalim. Idenya ialah setiap kebusukan dapat membuat hati manusia menjadi gelap dan mudah lupa. Indikasinya, tidak pernah merasa risih ketika berbuat dosa dan kesalahan. Kejahatan dianggap sebagai kebajikan, perusakan diakui sebagai perbaikan, karena selalu dihisasi setan.

Dalam kondisi demikian, hati tidak lagi nurani tetapi sudah zulmani. “Maka apakah orang yang dijadikan (setan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu setan)? “Maka sungguh Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki siapa yang Dia kehendaki. Maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sungguh Allah Maha Mengetahui segala yang mereka perbuat.” (QS Fathir [35: 8]).

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement