Rabu 18 Mar 2020 17:11 WIB

Pajak Kontraksi, APBN Februari 2020 Defisit Rp 62,8 Triliun

Pelebaran defisit disebabkan oleh kontraksi pendapatan negara, terutama dari pajak.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 sampai dengan akhir Februari mengalami defisit Rp 62,8 triliun atau 0,37 persen terhadap Produk Domestik Bruti (PDB).
Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 sampai dengan akhir Februari mengalami defisit Rp 62,8 triliun atau 0,37 persen terhadap Produk Domestik Bruti (PDB).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 sampai dengan akhir Februari mengalami defisit Rp 62,8 triliun atau 0,37 persen terhadap Produk Domestik Bruti (PDB). Sementara pendapatan negara tercatat Rp 216,6 triliun, belanja negara memiliki angka lebih besar, yakni Rp 279,4 triliun.

Apabila dibandingkan tahun lalu, nilai defisit yang dialami APBN per Februari ini tumbuh 16,2 persen dibandingkan periode sama pada tahun lalu. Pada Februari 2019, defisit APBN sebesar Rp 54 triliun atau 0,34 persen dari PDB.

Baca Juga

Pelebaran defisit disebabkan oleh pendapatan negara, terutama dari sisi pajak, mengalami kontraksi, sedangkan belanja negara terus tumbuh. Terlihat, penerimaan pajak pada Februari tumbuh negatif 5,0 persen menjadi Rp 152,9 triliun dari sebelumnya, Rp 160,9 triliun pada tahun lalu.

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, penurunan pendapatan pajak tidak terlepas dari kondisi global yang saat ini mengalami dinamika. Khususnya di tengah penyebaran virus corona (Covid-19) yang menghambat laju pertumbuhan perdagangan maupun mengganggu pasar keuangan. 

"Kita lihat pajak mengalami tekanan karena adanya risiko global maupun domestik," ujarnya dalam konferensi pers melalui live streaming, Rabu (18/3).

Salah satu jenis pajak yang mengalami pukulan paling keras adalah Pajak Penghasilan (PPh) Migas. Jenis pajak ini kontraksi 36,8 persen dari Rp 10,5 triliun menjadi Rp 6,6 triliun pada Februari 2020. Kondisi tersebut memburuk dibandingkan tahun lalu yang mampu tumbuh hingga 34,8 persen.

Sri mengatakan, produksi dari minyak dan gas yang lebih rendah dari asumsi menjadi faktor utamanya, meskipun kurs rupiah saat itu masih terbilang kuat. "Ini yang menyebabkan penerimaan PPh migas drop sangat dalam," tuturnya.

PPh non migas juga mengalami kontraksi sebesar 3,0 persen menjadi Rp 89 triliun. Meski begitu, Sri mengatakan, kondisi itu masih lebih baik dibandingkan penerimaan migas. Ini menjadi perkembangan yang cukup positif sebelum terjadinya masalah wabah Covid-19.

PPh nonmigas menjadi penopang penerimaan pajak pada Februari. Jenis pajak ini sudah terealisasi 10,2 persendari target. Di sisi lain, ada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang walaupun kontraksi 2,7 persen, kondisinya relatif baik dibandingkan jenis pajak lain.

Dari sisi belanja, pemerintah mencatatkan pertumbuhan 2,8 persen, atau lebih lambat dibandingkan tahun lalu yang mampu tumbuh 9,2 persen. Sri mengatakan, belanja negara yang sudah terealisasi 11 persen dari target ini memberikan stimulus ke perekonomian, mampu tumbuh positif dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh negatif 9,1 persen secara year on year (yoy).

Sri menilai, kinerja belanja ini cukup bagus, terutama untuk belanja nonkementerian/lembaga. "Pertumbuhannya lebih baik, 4,6 persen, dibandingkan tahun lalu 2,9 persen," kata mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.

Catatan khusus diberikan Sri untuk transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) yang masih kurang akselerasi. Pada Februari 2020, nilai transfer ke daerah mencapai Rp 116 triliun atau kontraksi 4,2 persen dibandingkan tahun lalu. Sementara, dana desa kontraksi lebih dalam, 66,8 persen, menjadi Rp 1,7 triliun.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement