Selasa 17 Mar 2020 19:15 WIB

Penelitian: Perempuan Diamkan Hoaks di Grup Whatsapp

Sikap perempuan berbeda terkait ujaran kebencian (hate speech).

Rep: my31/ Red: Fernan Rahadi
Aplikasi Whatsapp (ilustrasi).(REUTERS/Dado Ruvic)
Foto: REUTERS/Dado Ruvic
Aplikasi Whatsapp (ilustrasi).(REUTERS/Dado Ruvic)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Hasil riset terbaru menyatakan bahwa perempuan cenderung mendiamkan hoaks yang tersebar di Grup Whatsapp. Padahal, sebenarnya perempuan memiliki potensi untuk berpartisipasi melawan hoaks serta ujaran kebencian di platform jejaring pertemanan serta media sosial.

"Perempuan cenderung mendiamkan meskipun informasi yang disampaikan adalah hoaks. Perempuan lebih memilih menengahi daripada mengatakan kebenaran yang kemungkinan akan menimbulkan konflik berkepanjangan. Sehingga perempuan lebih memilih mendiamkan demi keharmonisan, bukan demi kebenaran," kata peneliti dari Departemen Ilmu Komunikasi (Dikom) UGM, Engelbertus Wendratama, dalam Talkshow Peluncuran Buku dan Pelatihan Literasi Digital 'Grup Whatsapp dan Literasi Digital Perempuan Indonesia' di Fisipol UGM, Yogyakarta, Senin (16/3).

Akan tetapi, menurut Wendra, sikap perempuan berbeda terkait ujaran kebencian (hate speech). "Dalam isu ujaran kebencian, perempuan lebih aktif untuk melawan,” ujar Wendra yang melakukan penelitiannya di Jakarta.

Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian di Jayapura dimana sebanyak 67,6 persen dari 250 responden perempuan mengatakan lebih memilih mendiamkan hoaks. Sedangkan 50,4 persen di antaranya mendiamkan ujaran kebencian. 

"Namun enam orang yang diwawancarai (di Jayapura) ternyata lebih aktif dalam menangkal keduanya. Mereka bersikap aktif dengan mengingatkan, menegur, bahkan memaki orang yang menyebarkan misinformasi karena dianggap merusak suasana di Grup Whatsapp," kata peneliti Dikom UGM lainnya, Wisnu Prasetya.

Koordinator peneliti Novi Kurnia mengatakan riset ini dilakukan pada bulan April-Mei 2019 dan melibatkan 1.250 responden perempuan yang berasal dari lima kota di Indonesia, yakni Jakarta, Yogyakarta, Jayapura, Aceh, dan Makassar. Mereka berusia dari 23-58 tahun dan aktif menggunakan Grup Whatsapp (WAG).

"Latar belakang yang diteliti adalah WAG adalah karena WAG merupakan salah satu chat messenger populer di Indonesia yang tentu saja memiliki dua sisi yaitu sisi positif dan negatif. Di satu sisi positif (WAG) memudahkan pekerjaan, membuka peluang bisnis, dan membangun relasi personal.  Namun, di sisi lain, WAG bisa digunakan sebagai sumber untuk melakukan ujaran kebencian atau penyebaran hoaks," kata Dosen Dikom UGM itu.

Sementara itu latar belakang dipilihnya perempuan adalah karena adanya kesenjangan digital antara perempuan dan laki-laki. "Kesenjangan digital (antara perempuan dengan laki-laki) lebih rendah perempuan, dan karenanya itu terkait dengan penguasaan teknologi dan akses informasi," kata Novi.

Perempuan Indonesia, kata dia, bergerak di aspek domestik dan ruang publik. Dengan begitu, kemampuan perempuan Indonesia untuk menavigasi informasi supaya tidak terjebak untuk berbagi misinformasi (hoaks) dan ujaran kebencian menjadi sangat penting.

“Maka, riset ini digunakan untuk memetakan kompetensi literasi digital perempuan Indonesia dalam menavigasi informasi dalam WAG untuk bisa mencari solusi terbaik,” papar Novi yang merupakan ketua Program Studi Magister Ilmu Komunikasi UGM tersebut.

Riset ini menjadi satu dari 20 pemenang Whatsapp Misinformation and Social Science Awards yang diselenggarakan oleh Facebook/Whatsapp yang berasal dari 11 negara. Tim dari Dikom UGM yang dipimpin Novi menjadi salah satu dari tiga tim dari Indonesia yang memenangkan hibah riset tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement