Selasa 17 Mar 2020 01:39 WIB

Saudi Perang Harga Minyak di Tengah Pandemi Virus Corona

Perang harga minyak berisiko menggagalkan rencana ekonomi putra mahkota Saudi.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Nur Aini
Fasilitas minyak Aramco di Jubeil, 600 kilometer dari Riyadh, Arab Saudi. Foto diambil 3 Mei 2009.(AP Photo/Hassan Ammar)
Foto: AP Photo/Hassan Ammar
Fasilitas minyak Aramco di Jubeil, 600 kilometer dari Riyadh, Arab Saudi. Foto diambil 3 Mei 2009.(AP Photo/Hassan Ammar)

REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH -- Pandemi virus corona menekan perjalanan internasional, rantai pasokan dan produksi beberapa negara. Namun, Arab Saudi memberikan kejutan lain, dengan menyatakan perang harga minyak.

Pada 6 Maret, OPEC yang dipimpin Arab Saudi mengumumkan akan mulai memompa produksi minyak mentah. Hal itu sebagai balasan setelah gagal meyakinkan Rusia menyetujui pengurangan produksi yang bertujuan menopang harga minyak mentah karena turunnya permintaan akibat virus corona.  Arab Saudi kemudian menurunkan harga minyak. Lantas pada 9 Maret, harga minyak jatuh 30 persen yang menjadi penurunan terbesar dalam satu hari sejak Perang Teluk 1991. 

Harga minyak yang secara dramatis lebih rendah membuat Arab Saudi bisa mencuri pangsa pasar karena mereka dapat memproduksi minyak lebih murah daripada negara lain seperti Rusia dan AS. Namun, para analis menilai justru itu bisa merugikan Arab Saudi dan rencana ambisius dari pemimpinnya secara de facto Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS), yang ingin memecahkan ketergantungan minyak kerajaan dan mengaturnya untuk masa depan yang lebih makmur.

Minyak mentah menyumbang sekitar 80 persen dari pendapatan Arab Saudi, dan tingkat ketergantungan bahan bakar fosil itu disertai dengan banyak sekali kekurangan. Ketika harga minyak naik turun, demikian juga nasib kerajaan, yang dapat menghentikan rencana dan memaksa pilihan pengeluaran yang sulit.

Visi 2030 berupaya membuat kerajaan keluar dari perangkap ketergantungan pada minyak dengan menginvestasikan kembali kekayaan bahan bakar fosil ke industri berkelanjutan di masa depan, mengurangi biaya yang membengkak, dan mengembangkan sektor swasta untuk mempekerjakan tenaga kerja muda kerajaan. Visi MBS 2030 bertujuan untuk mendiversifikasi ekonomi kerajaan, tetapi analis mengatakan perang harga minyak dapat membahayakan rencana itu.

Namun dalam banyak hal, cetak biru untuk transformasi masih sulit bahkan sebelum Riyadh berselisih dengan Moskow. "Visi 2030 sudah tertinggal pada sebagian besar target sementara untuk 2020," kata analis senior Timur Tengah di Oxford Analytica, Laura James, kepada Aljazirah.

Landasan penggalangan dana untuk diinvestasikan kembali ke sektor lain adalah penawaran umum perdana (IPO) raksasa minyak negara Saudi Aramco. Ketika mendekati debutnya yang tertunda akhir tahun lalu di bursa Tadawul di Riyadh, serangan terhadap fasilitas Aramco pada September mengingatkan para investor pada risiko geopolitik yang bisa memengaruhi perusahaan dan operasinya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement