Senin 16 Mar 2020 18:07 WIB

Banyak PR untuk Manufaktur Ambil Peluang di Tengah Covid-19

Ego sektoral harus disingkirkan untuk meningkatkan kinerja manufaktur nasional.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolandha
Ilustrasi Manufaktur(Republika/Mardiah)
Foto: Republika/Mardiah
Ilustrasi Manufaktur(Republika/Mardiah)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Center for Reform of Economic (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menilai, pandemi corona (Covid-19) yang kini menyebar ke berbagai belahan dunia sudah menyadarkan banyak negara untuk tidak terlalu menggantukan rantai pasok ke China. Dengan kondisi ini, industri manufaktur Indonesia dapat mengambil peran dari pergeseran rantai pasok global.

Namun, Yusuf mengakui, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar hasil produksi dalam negeri bisa masuk ke rantai pasok global dan menggantikan produk Cina. "Mulai dari harga industri, ongkos logistik hingga lemahnya investasi di sektor ini," tuturnya ketika dihubungi Republika.co.id, Senin (16/3).

Koordinasi antar Kementerian/Lembaga terkait menjadi kunci utama untuk mengatasi kekurangan industri manufaktur saat ini. Yusuf menilai, ego sektoral untuk memperbaiki kinerja pengolahan harus ditekan guna memaksimalkan kinerja mereka.

Apabila hal fundamental ini sudah diperbaiki, Yusuf menyebutkan, industri manufaktur Indonesia berpeluang masuk ke rantai pasok global. Atau, setidaknya menjadi supplier untuk supply chain domestik, sehingga mampu menekan defisit neraca perdagangan.

Salah satu sektor yang berpotensi besar adalah industri otomotif. Yusuf mengatakan, pengalaman produsen kendaraan bermotor di Indonesia relatif lebih lama dibandingkan sektor lain. 

“Jika bisa, tentu kita bisa menekan impor produk mesin yang serang kali kita gunakan dari China,” katanya.

Penyebaran virus corona yang berasal dari China sudah berdampak pada neraca dagang Indonesia pada Februari. Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik (BPS) Yunita Rusanti menyebutkan, Covid-19 menyebabkan China harus di-lockdown untuk sementara waktu guna menekan tingkat penyebaran virus sehingga kegiatan produksi di sana pun terhambat.

Dampaknya, Yunita mengatakan, jumlah impor bahan baku dan barang modal yang selama ini dikirim dari China ikut berkurang. Begitupun ekspor ke China yang tertekan mengingat tingkat permintaan dari sana menurun.

"Secara month to month ekspor kita tumbuh negatif 11,63 persen dan impor negatif 49,63 persen. Jadi, (dampak corona) memang cukup signifikan," ujarnya dalam konferensi pers yang dilakukan secara streaming, Senin (16/3).

Berdasarkan data BPS, nilai impor nonmigas dari China pada Februari 2020 sebesar 1,98 miliar dolar AS, turun dibandingkan Januari 2020 yang mencapai 3,94 miliar dolar AS. Komoditas yang mengalami berkontribusi besar dalam penurunan itu adalah mesin dan perlengkapan elektrik yang turun 45,17 persen.

Mesin dan peralatan mekanis juga turun 34,33 persen, sementara plastik dan barang dari plastik turun lebih signifikan, 65,16 persen.

Dari sisi ekspor, penurunan yang terjadi lebih kecil yaitu dari 2,11 miliar dolar AS pada Januari 2020 menjadi 1,87 miliar dolar AS pada Februari 2020. Tembaga dan barang daripadanya menjadi komoditas dengan penurunan terdalam, yakni hingga 57,42 miliar dolar AS. Sementara, besi dan baja juga turun 25,65 persen.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement