Jumat 13 Mar 2020 21:00 WIB

Menengok Langgar Tinggi, Tempat Persinggahan Para Saudagar

Langgar Tinggi merupakan sebuah mushala.

Rep: Zainur Mahsir Ramadhan/ Red: Muhammad Hafil
Langgar Tinggi.(Ihram TV)
Foto: Ihram TV
Langgar Tinggi.(Ihram TV)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Adjis Subandi (48 tahun) sedang berbaring sambil melihat foto syekh habib yang ia kagumi, ketika ditemui Republika di Masjid Langgar Tinggi, Jumat (13/3). Sebagai pengurus dari tempat yang telah menjadi cagar budaya Pemerintah Jakarta, ia mengaku kerap kali kedatangan tamu yang ingin mengetahui sejarah lokasi tersebut.

“Banyak yang mempresepsikan atau menyebut tempat ini sebagai Masjid, padahal ini langar (sejenis mushala)” ujar dia sambil mengenakan peci.

Baca Juga

Dia menyebut, Langgar yang dibangun di atas tanah seluas 8x24 meter itu, merupakan tanah dari wakif terpandang asal Sumatra pada 1249 H (1833 M), Syarifah Mas’ad Barik Ba’alwi.

Sambung dia, pembangunan kembali Langgar pada periode 1833 dilakukan oleh Syeikh Sa’id Na’um, yang merupakan saudagar Arab kaya asal Palembang. Dalam kelanjutannya, Syeikh Sa’id menjadi Kapitan Arab di wilayah tersebut.

 

Dari pantauan Republika, Langgar Tinggi memang tak seperti bangunan peribadatan Muslim jika dilihat sekilas. Pasalnya, di lantai pertama bangunan, ada empat ruangan yang berjejer, satu sebagai sekretariat. Sedangkan tiga lainnya digunakan sebagai tempat tinggal, di mana dua diantaranya juga berdagang parfum dan Pernik khas Arab.

Tepat pukul 11.30 WIB pada Jumat lalu ketika Republika mengunjungi Langgar itu. Karenanya, banyak pria Muslim yang bergegas menuju Masjid. 

Meski Langgar Tinggi tak dioperasikan sebagai tempat shalat Jumat, namun, tempat wudhu-nya silih bergantian digunakan masyarakat yang hendak shalat Jumat di Masjid An-Nawier yang juga Masjid berusia ratusan tahun, lokasinya sekitar seratus meter dari Langgar Tinggi.

“Di daerah Pekojan sini memang ada banyak cagar budaya Islam. Yang terbesar itu An-Nawier,” ujar dia sambil menunjuk ke arah Masjid yang juga dibangun oleh orang-orang India-Arab kala itu.

Adjis menyatakan, keberadaan Masjid An-Nawier memang lebih tua besar dibanding Langgar Tinggi. Akan tetapi, ada tujuan khusus dalam pembangunan Langgar Tinggi. Selain dari persamaan pembangunan yang dilakukan oleh pedagang Arab-India.

 “Ini juga untuk persinggahan para pedagang dan saudagar dari India atau Arab,” tuturnya.

 Dari pelabuhan, kata dia, para pedagang menggunakan sampan melalui kali Angke di seberang Langgar Tinggi, untuk singgah barang sebentar melepas lelah. Menurut dia, hal tersebut semakin menjadi tren di kalangan para pedagang untuk beristirahat sambil berencana menyebarkan Islam.

“Di sini banyak juga yang ber-syiar. Jadi Langgar Tinggi ini selain tempat ibadah tua, awalnya juga untuk menyebarkan Islam di Jakarta oleh para pedagang,” tuturnya. Sambung dia, kegiatan di Langgar Tinggi, hanya kegiatan shalat lima waktu, pengajian dan marawis layaknya di masjid atau tempat mushala lainnya.

Masjid yang berlokasi di Jalan Pekojan Raya No.43 itu memiliki kontur bangunan yang sejajar dengan Jalan Pekojan di sebelah Utara, dan Kali Angke di Selatan. Sedangkan untuk arsitektur bangunan, Langgar Tinggi menggunakan perpaduan Eropa, Tionghoa dan Jawa. Beberapa bagian bangunan dan Lantai, bahkan, masih menggunakan kayu kokoh berusia ratusan tahun.

“Walaupun bangunan masih kokoh, dan sudah mengalami perbaikan di beberapa sisi. Jemaah shalat lima waktu sangat sedikit di sini,” keluh Adjis yang juga merupakan anggota kepengurusan Langgar Tinggi.

Aam (56) dan suaminya merupakan pengurus harian di Langgar Tinggi, atau yang biasa disebut merbot. Dia menyatakan, sudah tiga generasi keluarganya tinggal di bawah Langgar Tinggi itu.

“Dari kakek saya masih ada keluarga sudah tinggal di sini, sampai selanjutnya bapak dan suami saya. Jadi keluarga saya sudah mengurus masjid ini sejak tiga generasi,” kata dia.

Dia menyebut, perawatan pada Langgar Tinggi hanya dilakukan biasa saja. Mengisi air untuk wudhu dan membersihkan kondisi Mushala.

Sementara itu, sejarawan Islam, Tiar Anwar menyebut, alasan banyaknya tempat ibadah berusia ratusan tahun di Pekojan, karena pada abad 15 daerah itu merupakan pusat kota Jakarta.

Menurut dia, ratusan tahun lalu, pusat kota di manapun memang berada di dekat pelabuhan. Jakarta Utara salah satunya. Alhasil, banyaknya cagar budaya Islam di Pekojan, karena Islam masuk lewat jalur tersebut.

“Dulu Jakarta itu hanya ada Jakarta Utara. Selatan, Timur dan lainnya itu baru. Jadi tempat ibadah muslim yang berusia tua pasti ada di Jakarta Utara. Ga mungkin di Timur atau Selatan,” ungkap dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement