Jumat 13 Mar 2020 18:50 WIB

OJK: Ketimpangan Inklusi Keuangan Timbulkan Risiko Investasi

Tingkat inklusi keuangan Indonesia naik dari 59,74 persen menjadi 76,19 persen.

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tirta Segara (kiri) didampingi Wakil Rektor IV Universitas Andalas (Unand) Hefrizal Handra (kanan), menyampaikan kuliah umum di kampus Unand Padang, Sumatera Barat, Jumat (13/3/2020).(Antara/Iggoy el Fitra)
Foto: Antara/Iggoy el Fitra
Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Tirta Segara (kiri) didampingi Wakil Rektor IV Universitas Andalas (Unand) Hefrizal Handra (kanan), menyampaikan kuliah umum di kampus Unand Padang, Sumatera Barat, Jumat (13/3/2020).(Antara/Iggoy el Fitra)

REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong peran mahasiswa dan pelajar di berbagai daerah agar dapat meningkatkan inklusi dan literasi keuangan di Indonesia. Berdasarkan hasil survei OJK terhadap inklusi keuangan dari tahun ke tahun cukup meningkat yaitu pada 2013 sebesar 59,74 persen, sebesar 67,8 persen pada 2016 dan pada 2019 sebesar 76,19 persen.

Sedangkan hasil survei literasi keuangan jauh lebih rendah dibandingkan dengan pencapaian inklusi keuangan pada 2013 hanya 21,84 persen, pada 2016 sebesar 29,7 persen dan sebesar 38,03 persen pada 2019.

Baca Juga

Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Tirta Segara mengatakan ketimpangan antara literasi dan inklusi keuangan berpotensi menimbulkan masalah lain.

“Hasil survei bahwa terjadi gap yang cukup besar antara inklusi dan literasi kita. Ini artinya risiko (investasi) yang kita hadapi itu tinggi dan harus dipahami risikonya,” ujarnya saat acara Kuliah Umum 'Peran OJK dalam Meningkatkan Literasi dan Inklusi Keuangan serta Perlindungan Konsumen' di Universitas Andalas, Padang, Jumat (13/3).

Tirta menuturkan ketimpangan hasil survei menandakan masyarakat hanya membeli produk keuangan namun tidak memahami beberapa aspek penting lainnya seperti risiko, kewajiban dan pembiayaan. “Masyarakat membeli produk keuangan, investasi dan sebagainya tapi mereka tidak paham risikonya apa, kewajibannya apa, biaya-biayanya berapa. Ini masyarakat belum paham,” ucapnya.

Sementara Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida menambahkan salah satu program yang digagas otoritas adalah program One Student One Account (OSOA) berupa kepemilikan rekening tabungan. Adapun program tersebut dapat membantu para mahasiswa mengetahui dan memahami industri jasa keuangan.

“Upaya kita untuk melakukan kerja sama dalam membangun ekonomi Indonesia dengan meningkatkan peran mahasiswa dalam perekonomian Indonesia,” ucapnya.

Menurutnya para mahasiswa dapat berperan aktif dalam melakukan sosialisasi terkait produk sektor jasa keuangan, tidak hanya di lingkungan kampus melainkan juga kepada masyarakat luas.

“Mahasiswa untuk bisa berlaku aktif masyarakat dalam artian tidak hanya di kampus itu sangat dibutuhkan bagi pembangunan perekonomian kita,” ucapnya.

Nurhaida menuturkan peran aktif masyarakat diharapkan dapat membantu pemerintah dalam meningkatkan inklusi serta literasi keuangan secara nasional yang saat ini dinilai masih kurang.

"Dilihat dari capaian itu kita bersyukur karena pada 2019 lalu target pemerintah untuk inklusi keuangan 75 persen sehingga kita sudah melewati target pemerintah,” ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement