Thursday, 16 Syawwal 1445 / 25 April 2024

Thursday, 16 Syawwal 1445 / 25 April 2024

Anggota MPR: Kekerasan kepada Anak Sudah Lampu Merah

Jumat 13 Mar 2020 17:09 WIB

Red: Gita Amanda

Yandri Susanto, anggota MPR dari Fraksi PAN, dalam Diskusi Empat Pilar bertema “Marak Kekerasan pada Anak, Ancaman Bagi Generasi Penerus Bangsa?” di Media Center MPR/DPR, Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (13/3).(MPR)

Yandri Susanto, anggota MPR dari Fraksi PAN, dalam Diskusi Empat Pilar bertema “Marak Kekerasan pada Anak, Ancaman Bagi Generasi Penerus Bangsa?” di Media Center MPR/DPR, Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (13/3).(MPR)

Foto: MPR
Kekerasan terhadap anak menunjukkan tren meningkat baik kuantitas maupun kualitas.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekerasan terhadap anak menunjukkan tren yang terus meningkat baik secara kuantitas maupun kualitas. Untuk mengurangi kekerasan pada anak dibutuhkan peran semua pihak, bukan hanya orang tua tetapi juga sekolah, dan masyarakat, serta pemerintah, terutama lingkungan terdekat anak.

“Ini (kekerasan pada anak) sudah lampu merah bagi bangsa ini. Kita tidak boleh saling menyalahkan. Kita semua, pemerintah, masyarakat, dunia usaha, harus bergandengan tangan dan bersatu padu untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap anak secara bersama-sama,” kata Yandri Susanto, anggota MPR dari Fraksi PAN, dalam Diskusi Empat Pilar bertema “Marak Kekerasan pada Anak, Ancaman Bagi Generasi Penerus Bangsa?” di Media Center MPR/DPR, Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (13/3). Diskusi kerja sama Koordinatoriat Wartawan Parlemen dengan Biro Humas MPR RI itu juga menghadirkan narasumber anggota Fraksi Partai Golkar MPR Dyah Roro Esti dan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto.

Baca Juga

Yandri melihat belum ada keseriusan secara maksimal dari berbagai pihak untuk mengatasi kekerasan pada anak. “Kepeduliannya masih kurang karena mungkin menganggap kekerasan pada anak sebagai hal yang biasa. Padahal kekerasan pada anak ibarat api dalam sekam. Sangat mengerikan. Kalau tidak diatasi, bagaimana nasib bangsa ini? Bagaimana nasib bangsa ini jika generasi sekarang sudah banyak yang menjadi korban narkoba, kekerasan seksual, menjadi pekerja seks, dan sebagainya,” papar Ketua Komisi VIII DPR ini, dikutip dari siaran persnya.

Yandri memberi contoh anggaran KPAI dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak yang terbilang masih kurang. “Karena itu masalah kekerasan pada anak bukan salah pemerintah, bukan salah DPR. Sebagai Ketua Komisi VIII saya berjanji berapapun anggaran yang diperlukan kita penuhi asal sesuai dengan tujuan. Komitmen DPR tidak perlu diragukan dari sisi regulasi dan anggaran,” tegasnya.

Jika anggaran terbatas, Yandri mengusulkan untuk melibatkan pihak swasta atau dunia usaha dalam program mengurangi kekerasan pada anak. Dana CSR dari dunia usaha yang cukup besar bisa digunakan untuk program anak. “Anak adalah masa depan bangsa. Saya berharap pemerintah, masyarakat, dunia usaha, dan kita semua bergandengan tangan dan saling bahu membahu untuk mengatasi kekerasan pada anak secara bersama-sama,” harap Yandri.

Narasumber lain, anggota MPR dari Fraksi Partai Golkar, Dyah Roro Esti mengungkapkan 50 persen anak di dunia yang berusia 2 – 12 tahun atau sekitar 1 miliar anak mengalami kekerasan fisik secara seksual maupun emosional. Untuk Indonesia, UNICEF pada tahun 2015 menyatakan anak pada usia 13 – 15 melaporkan pernah diserang secara fisik, 26 persen pernah mendapatkan hukuman fisik dari orang tua, dan 50 persen mengaku di-bully di sekolah. “Lingkungan di rumah, di sekolah, dan pergaulan bisa memacu adanya kekerasan pada anak,” katanya.

Dyah Roro Esti juga sepakat dengan Yandri bahwa dibutuhkan peran semua pihak, bukan hanya orangtua tetapi juga sekolah, dan masyarakat, serta pemerintah untuk mengatasi kekerasan pada anak terutama lingkungan terdekat anak. “Untuk mencegah atau mengurangi kekerasan pada anak bisa dilakukan melalui good parenting, menciptakan lingkungan yang ramah di sekolah-sekolah, dan social media. Aktivitas media sosial anak perlu dimonitor dan diawasi apakah media sosial digunakan anak untuk hal-hal yang positif,” jelasnya.

Sementara itu Ketua KPAI Susanto memaparkan data KPAI tahun 2019 terdapat 4.369 kasus. Kasus ini variatif, yaitu anak berhadapan dengan hukum misalnya anak sebagai pelaku, saksi, dan korban; kasus rebutan pengasuhan anak; kasus pornografi dan cyber crime. “Trennya sejak KPAI berdiri tahun 2004 sampai sekarang atau sekitar 16 tahun, anak berhadap dengan hukum paling tinggi kasusnya seperti pelaku bully, asusila, pencurian maupun yang lain,” ungkapnya.

Susanto berharap upaya proteksi dan penanganan terhadap kasus serta rehabilitasi harus semakin massif dikembangkan di daerah-daerah. “Era otonomi daerah penting dikembangkan desa ramah anak, kelurahan ramah anak. Desa dan kelurahan ini menjadi ujung tombak mewujudkan Indonesia yang ramah anak,” ujarnya.

  • Komentar 0

Dapatkan Update Berita Republika

BERITA LAINNYA

 
 
 
Terpopuler