Rabu 11 Mar 2020 06:29 WIB

Dia Menyentuh Pipi Orang-Orang

Bolehkah kusentuh pipimu?

Dia Menyentuh Pipi Orang-Orang (ilustrasi cerpen)
Foto:

Meski pembawaannya seperti orang linglung dan cara berjalannya mirip orang idiot, lelaki itu pada dasarnya genius. Sejak menamatkan pendidikan sarjananya, ia terus berupaya mencari validitas pernyataan bahwa alam semesta tidak terbatas. Namun, setiap kali ia merasa bahwa jawaban itu sedang datang ke kepalanya, setiap kali itu pula sosok-sosok tak nyata datang menghampirinya.

Semakin sering jawaban itu datang, semakin sering sosok-sosok itu muncul.

Sering kali sosok-sosok tak nyata itu hanya melintas dalam pandangannya, lalu menghilang begitu saja. Namun, ada tiga sosok yang selalu hadir dalam kesehariannya secara rutin.

Yang pertama adalah seorang pria yang selalu menenteng bayonet, dengan topi bergambar logo bintang merah di bagian depannya. Pria itu, yang memperkenalkan dirinya dengan nama Bung Che Pott, memberitahunya bahwa ia adalah keturunan korban genosida. Bung Che Pott selalu menghasutnya untuk melakukan pembalasan dendam atas pembantaian orang-orang tak bersalah yang dituduh simpatisan komunis di masa lalu.

"Dengar, Kamerad, di antara ratusan orang yang dibantai itu, ada kakekmu, nenekmu, pamanmu, bibimu, dan ayahmu sendiri. Kau harus membalas, Kamerad!"

"Kau harus membalas!"

Bung Che Pott selalu berkata demikian pada setiap kemunculannya. Permintaan maaf saja tidaklah cukup, Kamerad, sekalipun itu disampaikan oleh presiden. Retorika basa-basi semacam itu jangan kau dengar!

Sosok yang kedua adalah perempuan Amerika berdarah Kuba bernama Camila Cabello. Tidak hanya muncul di kamarnya, Camila juga selalu hadir saat ia galau dan pikirannya buntu, mendengarkan keluh kesahnya, bernyanyi untuknya dengan suara yang nakal, dan kadang-kadang kejar-kejaran dengannya di taman kampus. Bahkan, ketika ia telah memiliki istri yang tak kalah binalnya, sosok Camila tetap selalu hadir dalam hidupnya.

Tentu saja itu semua bukannya tanpa konflik. Bahkan, sejak kencan pertamanya dengan istrinya di kafe tertutup itu, Camila sudah begitu cemburu. Hingga akhirnya, ketika ia menikahi mantan mahasiswanya itu, mereka pun bersepakat, bahwa Camila juga boleh mengencani pria lain selain dirinya agar keadaan menjadi impas. Tak lama setelah itu, ia pun mendapati bahwa Camila bergandengan tangan dengan Shawn Mendes, seorang penyanyi muda asal Kanada.

Lalu, sosok ketiga adalah seorang kakek tua yang kepadanya ia belajar tentang banyak hal, mulai dari perkara cinta, hubungan sosial, sampai metafisika, dan epistemologi. Kakek yang kepadanya mengaku bernama Plato inilah yang selalu meyakinkannya bahwa ia tidak sedang berfantasi, ketika orang-orang di sekelilingnya, terutama para dokter dan penjaga di rumah sakit tempat ia dirawat, mengatakan kepadanya bahwa mereka semua tidak nyata.

"Lihat, kau bisa melihatku. Kau bisa bicara denganku. Jangan dengarkan apa kata mereka. Kau tidak sedang berhalusi nasi, Nak," kata si kakek, setiap kali ia mencoba mengenyahkannya dari pikirannya.

Suatu malam, saat ia tengah berpikir keras soal kenapa waktu bisa melengkung, tiba-tiba Bung Che Pott masuk ke kamarnya, mengajaknya keluar. Coretan pemikirannya pun ditinggalkannya begitu saja.

Ia bergegas mengikuti Bung Che Pott. Begitu keluar dari rumahnya, dilihatnya di sepanjang jalan mayat-mayat bergelimpang an Sebagian yang masih hidup meminta pertolongannya, mengesot-ngesot merengkuh betisnya.

Bung Che Pott mempercepat langkahnya sebelum berhenti di depan markas sebuah organisasi kepemudaan yang berada tak jauh dari rumahnya. Lelaki itu juga berhenti, menatap markas itu dengan penuh kebencian dan dendam.

"Ini markas para pembunuh itu. Masuklah. Habisi siapa pun yang ada di dalam," perintah Bung Che Pott.

Lelaki itu langsung masuk ke dalam, memukuli tiga orang berpakaian loreng merah-hitam yang saat itu sedang tidur dengan sebuah balok hingga mereka tewas.

Sebelum keluar, dilihatnya sebuah foto yang tergantung di sudut ruangan, foto pembantaian orang-orang tertuduh simpatisan komunis. Pada foto itu dilihatnya sosok-sosok yang ia yakini sebagai kakeknya, neneknya, pamannya, bibinya, dan ayahnya. Semakin geramlah ia setelah melihat foto itu.

Lalu, dihancurkannya seluruh perkakas yang ada di dalam markas itu dengan balok yang masih dipegangnya. Setelah habis tenaganya, ia jatuh tersimpuh, lalu menangis keras-keras.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement