Selasa 10 Mar 2020 22:44 WIB

Ketika Kaum Tarekat Sufi Angkat Senjata Lawan Penjajah

Kaum tarekat tak hanya sibuk dengan zikir tetapi juga berjuang.

Kaum tarekat tak hanya sibuk dengan zikir tetapi juga berjuang. Anggota Tarekat Naqsabandiyah/ilustrasi(Amin Madani/Republika)
Foto: Amin Madani/Republika
Kaum tarekat tak hanya sibuk dengan zikir tetapi juga berjuang. Anggota Tarekat Naqsabandiyah/ilustrasi(Amin Madani/Republika)

REPUBLIKA.CO.ID, Tarekat-tarekat yang menjalankan tasawuf pun memiliki peran yang cukup besar dalam beragam kegiatan, seperti; sosial, ekonomi, pendidikan hingga politik. Sebagai sebuah jejaring sosial yang mampu menjangkau wilayah yang begitu luas, tarekat pun tercatat telah melakukan gerakan perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat Muslim.

Pada masa kolonial dulu, tarekat pun tampil sebagai sebuah gerakan perlawanan untuk memerangi penjajah. Sejarah mencatat, ada sejumlah gerakan perlawanan besar yang dilakukan para tokoh tarekat dan pengikutnya di Nusantara terhadap Belanda. 

Baca Juga

Menurut Prof Azyumardi Azra dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, respons Muslim pribumi terhadap penjajah Belanda terbagi menjadi dua.`'Ada yang melakukan perlawanan secara terbuka dan ada pula yang melakukan perlawanan secara diam-diam,'' tutur Azyumardi. 

Para ulama dan pengikutnya yang melakukan perlawanan secara diam melakukan 'uzlah' atau menjauhkan diri dari pengasa kolonialis kafir. Uzlah para ulama itulah yang kemudian telah mendorong terjadinya radikalisasi tarekat dan tasawuf.

Gerakan Reformis Paderi di Minangkabau yang kemudian menjadi perang anti-kolonialisme, salah satunya dimotori tarekat tasawuf yang berkembang waktu itu. Menurut Azyumardi, gerakan radikalisasi tarekat terus mendapatkan momentum sepanjanjang abad ke-19. Peran tarekat dalam melakukan perlawanan terhadap penjajahan juga tampak menonjol dalam Perang Diponegoro (1825-1830). Dalam pertempuran itu, Pangeran Diponegoro disokong para kiai, haji dan kalangan pesantren. Dalam perjuangan yang dilakukan Diponegoro, Kyai Maja pun tampil sebagai pemimpin spiritual pemberontakan tersebut. 

Untuk menarik dukukang dari pondok pesantren, tokoh agama dan pengikut tarekat, Pangeran Diponegoro menyebut pemberontakannya sebagai perang suci atau perang sabil.Tak heran, jika kemudian para pengikut tarekat dan umat Islam lainnya, pada waktu itu meyakini pemberontakan Diponegoro itu sebagai perang suci untuk mengembalikan pemerintahan Islam di Jawa. Perang itu pun digaungkan Diponegero untuk mengusir kolonial Belanda yang tak beriman dari tanah Jawa.

Martin van Bruinessen dalam tulisannnya, 'Tarekat dan Politik:Amalan untuk Dunia atau Akhirat?', juga mengungkapkan peran dan perjuangan tokoh dan pengikut tarekat dalam melawan Belanda. Peran tarekat yang tak kalah pentingnya dalam perlawanan penjajah Belanda juga dilakukan Tarekat Sammaniyah di Palembang dalam Perang Menteng. Perjuangan para tokoh dan pengikut tarekat itu berhasil mengalahkan gempuran pertama pasukan Belanda pada 1819.

Seorang penyair Melayu menggambarkan bagaimana kaum putihan atau haji mempersiapkan diri untuk berjihad fi sabillillah. Mereka membaca asma (al-Malik, al-Jabbar), berzikir dan beratib dengan suara keras sampai 'fana'. Dalam keadaan tak sadar ('mabuk zikir') mereka menyerang tentara Belanda. Mereka berani mati, mungkin juga merasa kebal lantaran amalan tadi, dan dibalut semangat dan keberanian mereka berhasil membuat Belanda kocar-kacir.

Menurut Bruinessen, tarekat Sammaniyah yang berkembang di Palembang dibawa dari tanah suci oleh murid-murid Abdussamad al-Palimbani pada pengujung abad ke-18. 

Syekh Abdussamad dikenal terutama sebagai pengarang Sair As Salikin dan Hidayat As Salikin, dua karya sastra tasawwuf Melayu yang penting. Dua karya ini berdasarkan Ihya dan Bidayat Al Hidayahnya Ghazali, dengan tambahan bahan dari berbagai kitab tasawwuf lainnya.

Syekh  Abdussamad, papar Bruinessen, adalah seorang sufi yang tidak mengabaikan urusan dunia, bahkan mungkin boleh disebut militan. Tidak mengherankan kalau murid-muridnya yang ahli tarekat juga siap untuk berjihad fisik. `'Meski begitu, Syekh  Abdussamad bukanlah ahli tarekat Indonesia pertama yang bersemangat jihad melawan penjajah non-Muslim,'' tutur Bruinessen. 

Satu abad sebelum Tarekat Sammaniyah yang dipimpin Syekh  Abdussamad melakukan gerakan perlawanan terhadap Belanda, Syekh Yusuf Makassar yang bergelar 'al-Taj al-Khalwati' telah melakukan hal yang sama. Di Banten, Syekh Yusuf dengan memimpin 5.000 pasukan dan 1.000 di antaranya berasal dari Makassar telah mengobarkan perang terhadap 'kolonial kafir'. Bahkan, ketika di buang ke Srilanka pun, Syekh Yusuf terus mengobarkan semangat perlawanan lewat karya-karyanya kepada para Sultan dan pengikutnya di Gowa dan Banten. Sebagai seorang sufi, Syekh Yusuf pun telah ikut terjun ke dunia politik saat itu, dengan menjadi penasehat Sultan Ageng Tirtayasa.

 

 

 

 

 

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement