Selasa 10 Mar 2020 17:58 WIB

Menilik Konversi Bank NTB Syariah

Dampak konversi tidak bisa hanya diukur dalam durasi yang singkat.

Yosita  Nur Wirdayanti,  Kepala Divisi Komite Ekonomi dan Keuangan Syariah
Foto: Istimewa
Yosita Nur Wirdayanti, Kepala Divisi Komite Ekonomi dan Keuangan Syariah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Yosita Nur Wirdayanti, Kepala Divisi Komite Ekonomi dan Keuangan Syariah

UU No. 21 tahun 2008 mengamanatkan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS dengan nilai aset mencapai paling sedikit 50 persen dari total nilai aset bank induknya atau 15 tahun sejak berlakunya UU (yaitu tahun 2023), Bank Umum dimaksud wajib melakukan pemisahan UUS-nya menjadi BUS. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, terdapat 4 UUS yang telah berubah menjadi BUS, yaitu spin-off UUS BNI Syariah di tahun 2010, merger Bank Sahabat Purbadanarta dengan UUS BTPN Syariah di tahun 2014, konversi Bank Aceh menjadi Bank Aceh Syariah pada tahun 2016 dan terakhir konversi Bank NTB menjadi Bank NTB Syariah di tahun 2018. 

Beberapa hari lalu Bank NTB Syariah telah mempublikasikan laporan keuangan posisi 31 Desember 2019. Dibandingkan tahun 2018, total asset, DPK, pembiayaan dan laba bersih masing-masing naik 23 persen, 39 persen, 15 persen dan 325 persen. Melihat angka ini, penulis tertarik untuk melihat kinerja Bank NTB sebelum dan setelah konversi menjadi Bank Umum Syariah. 

Bank NTB resmi beroperasi menjadi Bank Umum Syariah pada 24 September 2018. Jika dibandingkan dengan laporan keuangan Bank NTB pada bulan Agustus 2018 (laporan keuangan terakhir bank NTB sebelum konversi) dan laporan Bank NTB Syariah bulan Desember 2018 (3 bulan setelah konversi), terjadi penurunan asset sebesar Rp 1,7 trilliun, penurunan DPK sebesar Rp 2 triliun, dan penurunan pembiayaan sebesar Rp 227 miliar. 

Hal ini terjadi karena adaptasi nasabah dalam menerima produk dan jasa dengan skema syariah, serta tidak diperpanjangnya spesial rate yang diberikan kepada beberapa deposan. Kondisi serupa juga terjadi di Bank Aceh ketika melakukan konversi. Pada kuartal terakhir tahun 2016, Bank Aceh mulai beroperasi sebagai Bank Umum Syariah. Terjadi penurunan kinerja keuangan. Namun penurunan ini bersifat sementara, di tahun 2017 pertumbuhan total asset, DPK dan pembiayaan Bank Aceh Syariah berhasil rebound dan mengalami pertumbuhan yang baik. 

Laba bersih tahun 2018 hanya tercatat Rp 38 miliar karena Bank NTB Syariah tidak dapat mengakui pendapatan Bank NTB sebelum dikonversi. Total pendapatan Bank NTB Konven (Jan-Sep) dan Bank NTB Syariah (Sep-Des) di tahun 2018 adalah Rp 151,9 miliar. Di tahun 2019 Bank NTB Syariah berhasil meningkatkan asetnya 23 persen menjadi Rp 8,6 triliun, DPK meningkat 39 persen menjadi Rp 6,8 triliun, pembiayaan meningkat 15 persen menjadi Rp 5,6 triliun serta mencatatkan laba bersih Rp 163 miliar. 

photo
Kinerja Keuangan Bank NTB - (Tangkapan Layar)

Kondisi transisi ini memunculkan persepsi bahwa konversi menyebabkan penurunan kinerja Bank. Seperti halnya aksi korporasi lainnya, proses konversi membutuhkan waktu transisi untuk konsolidasi internal dan sosialisasi kepada nasabah, khususnya nasabah eksisting. Tantangannya adalah bagaimana melewati waktu transisi ini dengan durasi sesingkat-singkatnya dan risiko seminimal mungkin. 

Dampak konversi tidak bisa hanya diukur dalam durasi yang singkat. Hanifa Assofia tahun 2019 melakukan penelitian mengenai kinerja Bank Aceh setelah konversi (2016-2018), penelitian tersebut menyimpulkan bahwa kinerja keuangan Bank Aceh dari sisi rentabilitas memadai, laba melebihi target dan mendukung pertumbuhan permodalan bank. Sinathrya Al Kautsar, et al 2019 dalam penelitiannya menyimpulkan tingkat risiko pada Bank Aceh Syariah lebih rendah daripada saat masih menjadi bank Aceh Konvensional. Konversi BPD NTB menjadi BPD NTB Syariah juga terhitung berhasil. Dalam waktu yang relatif singkat mampu melewati masa transisi dan tumbuh signifikan. 

Belajar dari pengalaman Bank Aceh dan Bank NTB, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam melakukan konversi. Pertama, dukungan penuh dari pemegang saham. Keputusan konversi Bank NTB ditetapkan dalam RUPS LB tanggal 31 Oktober 2016, tidak lama setelah Bank Aceh konversi menjadi Bank Umum Syariah. Dukungan penuh pemegang saham menjadi penting karena merupakan pondasi untuk dapat melangkah menjalankan strategi ini. 

Kedua, pembentukan tim khusus persiapan konversi. Diperlukan dedicated team lintas kompetensi untuk melakukan proses konversi sesuai waktu yang ditentukan dengan risiko yang minimal. Dalam kasus Bank NTB, tim ini dibantu juga oleh konsultan manajemen strategi, hukum, IT dan SDM. 

Ketiga, perlunya ada riset komprehensif untuk mengetahui kondisi pasar, preferensi nasabah eksisting, kesiapan dan kesediaan pegawai terhadap proses konversi. Hal ini diperlukan untuk mengetahui kesiapan pegawai dalam menjalani konversi, mengetahui posisi bank di antara bank pesaing, serta merumuskan strategi pemasaran setelah konversi. 

Keempat, pelatihan pegawai, mengingat tidak semua pegawai paham mengenai produk-produk perbankan Syariah. Dalam pelatihan tersebut juga sekaligus dilakukan internalisasi visi misi dan nilai-nilai perusahaan bank yang baru, sehingga konversi ini bukan hanya perubahan atas legalitas dan produk, tetapi juga perubahan dari nilai-nilai dan budaya kerja perusahaan yang akan terefleksi dari perilaku segenap pegawai. 

Kelima, persiapan sistem teknologi. Infrastruktur IT harus disiapkan untuk dapat mengakomodir produk-produk dengan skema Syariah. Momen konversi juga dapat dijadikan momentum untuk meluncurkan produk, layanan maupun fitur baru yang memberikan nilai tambah untuk nasabah. 

Pilihan konversi dalam menjawab UU No. 21 tahun 2008 merupakan salah satu opsi yang dapat diambil oleh BPD yang memiliki UUS. Faktor permodalan menjadi salah satu pendukung dalam memilih konversi. Jika UUS BPD spin-off menjadi BUS, maka pemegang saham harus menyediakan modal minimal Rp 500 miliar untuk menjadi BUS, dan dalam 10 tahun harus ditingkatkan menjadi minimal Rp 1 triliun.

Bank dengan modal Rp 500 miliar hanya akan menjadi bank yang kecil dan sulit bersaing. Alih alih untuk modal, dana ini dapat digunakan pemda untuk pembangunan infrastruktur atau pengentasan kemiskinan. Namun, jika UUS BPD ditutup atau dijual ke Bank Umum Syariah lain, maka BPD tersebut tidak lagi bisa menerima setoran pendaftaran haji. Hal ini merupakan risiko reputasi bagi pemda, dimana masyarakat daerah yang sebelumnya bisa melakukan pendaftaran haji melalui BPD, menjadi tidak bisa karena UUS nya telah ditutup atau dijual ke BUS. 

Selain melakukan konversi secara “big-bang”, alternatif lain adalah melakukan konversi secara bertahap, yaitu dengan memperbesar size UUS dari dalam, dengan cara menawarkan produk Syariah kepada nasabah baru, mengkonversi deposito yang jatuh tempo menjadi deposito Syariah, hingga secara bertahap share UUS menjadi semakin besar dan akhirnya mengkonversi Bank Umum Konvensional menjadi Bank Umum Syariah. Pendekatan ini bisa jadi dapat meminimalisir risiko operasional dan risiko layanan jika dibandingkan dengan proses konversi “big-bang”. 

Akhir kata, semoga pelajaran dari Bank Aceh dan Bank NTB dapat dijadikan referensi oleh Bank Nagari dan Bank Riau Kepri dalam mempersiapkan konversi menjadi Bank Umum Syariah. Penulis berharap proses konversi berjalan lancar dengan risiko operasional dan layanan yang minimal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement