Senin 09 Mar 2020 15:22 WIB

Paloh Usul Pemilu Serentak tak Lagi Diulangi

Beratnya pemilu serentak tak hanya dirasakan Nasdem, tapi juga partai lain.

Rep: Febrianto Adi Saputro/ Red: Teguh Firmansyah
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto berpelukan dengan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh saat menggelar pertemuan di DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta, Senin (9/3).(Republika/Putra M. Akbar)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto berpelukan dengan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh saat menggelar pertemuan di DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta, Senin (9/3).(Republika/Putra M. Akbar)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh merespons putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tetap memutuskan pemilu digelar serentak. Menurut Paloh, melihat ekses yang timbul pada Pemilu serentak 2019 lalu, ia mengusulkan agar pemilu serentak tak lagi diulangi.

"Kami memang sejogjanya berharap Mahkamah Konstitusi memutuskan agar Pemilu serentak pada 2019 yang telah kita lalui untuk tidak lagi diulangi seperti apa yang telah kita lalui bersama," kata Surya usai menggelar pertemuan dengan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto di Kantor DPP Partai Golkar, Senin (9/3).

Baca Juga

Ia meyakini, beratnya pemilu serentak 2019 tidak hanya dirasakan Partai Nasdem dan Golkar, tetapi juga partai lain. Paloh pun berharap agar pilkada dan pilpres dilakukan terpisah.

"Maka seyogyanya kami berharap mungkin tetap terpisah yaitu pemilu legislatif terlebih dahulu terlepas barangkali diberikan kesempatan beberapa bulan, baru pelaksanaan Pemilu Pilpres," ujarnya.

Ia menganggap adanya putusan MK tersebut menjadi pekerjaan rumah bagi partai peserta pemilu. Oleh karena itu, fraksi Nasdem dan Golkar bakal mengajak duduk bersama dengan fraksi partai politik lain di DPR untuk memikirkan solusi yang terbaik dalam situasi tersebut.

Sebelumnya MK menolak permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terkait pemisahan pemilihan umum (pemilu) antara nasional (Pilpres, Pileg DPR dan DPD) dan lokal (kepala daerah dan DPRD). Permohonan perkara nomor 55/PUU-XVII/2019 itu terkait uji materi Undang-Undang tentang Pemilu dan UU tentang Pilkada.

"Amar putusan, mengadili dalam provisi menolak permohonan provisi pemohon dalam pokok permohonan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (26/2) lalu.

Dalam pertimbangannya, anggota Majelis Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan, permohonan itu ditolak karena MK tak berwenang menentukan satu desain pemilu, bahkan berpotensi menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya. Sebab, putusan MK bersifat akhir dan mengikat.

Saldi menjelaskan, MK menyerahkan penentuan model pemilu kepada pembentuk Undang-Undang yakni pemerintah dan DPR dengan mempertimbangkan pertimbangan MK dalam putusan ini. Keserentakan pemilu dengan pemilihan DPRD dapat tinjau atau ditata kembali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement