Sabtu 07 Mar 2020 06:09 WIB

Kaus Kaki Bolong Bapak

Dinding rumah tempat untuk mencoret apa saja tergantikan dengan jempol kaki bapak.

Kaos Kaki Bolong Bapak
Foto:

Pada akhirnya, dinding rumah kami yang dulu -tempat untuk mencoret apa saja- tergantikan dengan telapak jempol kaki Bapak. Aku mulai senang melakukan hal itu. Pipik pun begitu.

Akan tetapi hari itu, Bapak tak lagi pulang. Berhari-hari. Dan rasanya itu sangat lama. Aku dan Pipik mulai sering bertanya pada Ibu.

"Bapak pasti akan pulang sebentar lagi." Selalu Ibu menjawab dengan sesingkat itu.

Hingga mencapai hitungan bulan, Bapak tak pernah memunculkan wajahnya. Aku mulai menangis, Pipik juga. Kami rindu Bapak. Aku ingat pada pagi terakhir waktu itu, pada kali terakhir kami menggambar di jempol kaki Bapak, Bapak menyerahkan spidol baru.

Tapi spidol kami masih bagus. Pipik protes. Dia tentu saja tidak rela spidol pinknya tak terpakai tergantikan dengan pemberian Bapak yang berwarna hitam. Spidol ini sangat tahan lama, biar terkena air, gambar kalian tetap akan bertahan.

"Berarti besok-besok kami tidak bisa lagi menggambar di kaki Bapak." Pipik mengambek.

"Tentu saja besoknya kalian masih bisa menggambar, tapi di sini...,"

Bapak melebarkan telapak tangannya. Tertawa lebar.

***

Hari ini kami akan berkunjung ke istana Bapak, begitu Ibu menyampaikan berita baik itu semalam. Tentu saja semalaman aku tak pernah benar-benar bisa memejamkan mata. Aku ingin malam segera berganti pagi.

Dan kabar paling baiknya, kami akan bertemu Bapak. Ternyata selama ini Bapak tak pernah pulang, karena sedang membangun sebuah istana. Pasti indah sekali.

"Apakah Bapak sangat merindukan kita?" Di kendaraan yang akan mengantar kami menuju istana bapak, aku mem bi sikkan itu pada telinga ibu.

"Tentu saja, Bapak sangat merindukan kita."

"Aku sangat rindu dengan Bapak," gumamku, entah terdengar Ibu atau tidak.

Istana Bapak sangat berbeda dengan istana di film kartun yang pernah kami tonton, benar kata Ibu. Pengawal istananya juga tak mengenakan pakaian kerajaan, melainkan seragam polisi yang sering aku lihat di jalan.

Mereka menjemput kami begitu turun dari kendaraan. Juga beberapa orang yang tiba-tiba me ngerumuni kami dengan kilatan cahaya kamera yang membuatku benar-benar seperti putri kerajaan. Ibu menggenggam tanganku dengan kuat. Tentu saja tangan Pipik di sebelah sana mengalami perlakuan serupa.

Pengawal istana mengantar kami memasuki lorong-lorong. Dan suara kerumunan orang tadi lambat-laun hilang tertelan dinding-dinding tinggi. Semakin lama semakin gelap.

"Kenapa gelap dan sempit?" pipik bertanya.

"Karena hanya raja baik hati yang bisa menempati istana seperti ini."

"Kenapa bukan istana yang terang dengan lampu-lampu yang banyak?" aku ikut berbisik.

"Karena seorang raja yang baik hati lebih memilih tinggal dalam kegelapan daripada tinggal dalam cahaya terang-benderang yang mem buat rakyatnya sengsara."

Kalimat terakhir ibu terhenti. Sebuah ruangan dibuka oleh pengawal istana. Ada lubang seluas kepala ibu yang menghubungkan dengan ruang di sebelahnya. Dibatasi oleh dinding kaca. Dan ... yang kami tunggu itu muncul juga. Bapak ... hanya wajah Bapak.

"Bapak ... Bapak...," pekikku. Aku segera menghambur ke arah Bapak.

Tapi sayang sekali, kami terhalang oleh dinding itu. Bahkan tangan Bapak begitu sulit untuk disentuh.

"Bapak..." Pipik pun mengikui tingkahku.

Bapak terlihat berusaha ingin memeluk kami. Begitu pun juga aku dan Pipik. Dia tersenyum. Kami pun juga, namun kali ini dibarengi dengan air mata. Aku benar-benar rindu Bapak.

Ini istana Bapak? Tapi kenapa seperti penjara? Penjara itu tempat orang-orang jahat. Aku segera menggeser posisi Pipik yang dari tadi menguasai lubang itu.

"Istana Bapak adalah penjara, tapi bapak bukan orang jahat, kalian percaya Bapak, bukan?!"

Aku mengangguk. Tersenyum. Bapak pun begitu. Seingatku, Bapak adalah orang yang paling baik di dunia. Dia suka membantu banyak orang. Juga ramah pada semua orang. Tidak mungkin bapak menjadi orang jahat. Mungkin saja keberadaannya di tempat ini yakni untuk membantu orang-orang jahat yang berada di dalamnya. Membantunya untuk kembali pada kebaikan.

Bapak tiba-tiba melakukan tingkah aneh. Memperlihatkan telapak kakinya. Aku dan Pipik jelas saja terkejut. Gambar terakhir kami masih ada di sana. Setiap kali warnanya sudah hampir pudar, bapak kembali menebalkannya.

Bapak masih memamerkan senyumnya dari sana. Bapak masih akan tetap melakukannya sampai akhirnya nanti Bapak benar-benar pulang ke rumah.

Hujan gerimis membawa kami meninggalkan istana Bapak. Pulang. Kata Bapak, pulang ke rumah ketenangan. Baik Pipik maupun aku tak bertanya macam-macam lagi, tentang apa itu rumah ketenangan. Ibu hanya bilang, bahwa besok-besok kami akan menghadapi kehidupan yang jauh berbeda.

Sepanjang jalan pulang, wejangan Ibu mengalir terus dari mulutnya, tentang kebaikan yang nantinya akan menang juga, dan kejahatan yang seberapa kuat disembunyikan akan muncul pada akhirnya. Aku sama sekali belum mengerti, mungkin Pipik juga, tentang semua yang tiba-tiba drastis terjadi pada keluarga kami, juga kebaikan dan kejahatan yang seperti diucapkan oleh Ibu barusan. Tapi kata Ibu lagi, karena kami masih kecil dan akan tiba saatnya nanti untuk mengerti.

TENTANG PENULIS: Chaery Ma kelahiran Wantampone, Sulawesi Selatan, penikmat teh hangat dan menyukai segala hal tentang pagi dan senang naik becak. Sudah mulai menulis sejak duduk di bangku sekolah dasar. Cerita anak'Rumah Hujan'karyanya terpilih sebagai 20 cerita anak terbaik 2016 Badan Bahasa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement