Jumat 06 Mar 2020 05:59 WIB

Sri Mulyani Pikirkan Opsi Stimulus Ekonomi Corona

Sri Mulyani mengatakan dampak ekonomi corona lebih berat di sektor riil.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Indira Rezkisari
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencari rumus stimulus ekonomi akibat corona.
Foto: ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mencari rumus stimulus ekonomi akibat corona.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Keuangan Sri Mulyani membuka opsi pemberian stimulus ekonomi akibat virus corona (Covid-19) serupa dengan yang dilakukan pemerintah saat krisis 2008-2009 lalu. Pada saat krisis ekonomi tahun 2009, pemerintah mengucurkan stimulus sebesar Rp 73 triliun.

Kebijakan stimulus saat itu dianggap cukup manjur untuk menjaga pertumbuhan ekonomi nasional 4,5 persen di tengah krisis dunia. Berkaca pada kondisi saat itu, Menkeu mengaku masih harus melihat perkembangan situasi ekonomi global yang terimbas penyebaran Covid-19 ini.

Baca Juga

Nilai stimulus pun bisa lebih besar atau lebih kecil dari apa yang dianggarkan pemerintah pada krisis 2009.

"Kita akan lihat. Karena saya bilang saya sangat terbuka dalam hal ini. Makanya kan tadi respons pertama fokusnya pertama yang langsung berhubungan dengan tourism. Seperti hotel, restoran airlines. Tapi sekarang kita lihatnya lebih luas kepada sektor manufaktur," ujar Sri Mulyani di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (5/3).  

Sri melihat, baik krisis ekonomi 2008 dan tekanan ekonomi akibat Covid-19 punya karakter 'pukulan' yang berbeda. Bila krisis 2009 lalu lebih banyak menghantam perbankan dan pasar modal, maka tekanan akibat corona ini lebih menyasar sektor riil.

"Kalau sekarang (akibat corona) menyangkut masalah orang yang tidak berani melakukan mobilitas, tidak melalukan kegiatan, itu pengaruhi sektor riil, investasi, manufacturing. Jadi ini yang menjadi risikonya ke masalah sektor riil langsung," jelas Sri.

Khusus kejadian saat ini, tekanan ekonomi akibat corona yang merembet kepada lumpuhnya industri akan berimbas pada pemutusan hubungan kerja (PHK). Di China misalnya, aktivitas industri di sana nyaris lumpuh dan mengancam pasokan bahan baku di Indonesia.

Kendati begitu, Sri juga mengakui bahwa efek jangka panjang dari PHK adalah kredit macet yang naik dan akan menggangu kinerja perbankan.

"Makanya sekarang kita konsentrasinya kurangi dampak di sektor riil, entah melalui berbagai relaksasi dan juga dari sisi demand side supaya masyarakat jangan merasa ketakutan yang membuat mereka tidak melakukan kegiatan apa-apa," kata Sri.

Jadi secara umum, kompleksitas tekanan ekonomi yang terjadi akibat virus corona ini lebih tinggi saat ini ketimbang krisis yang terjadi tahun 2009 silam. Sri menyebutkan, ancaman korona ini menyangkut nyawa manusia sehingga kompleksitasnya lebih nyata.

"Lebih rumit ini. Karena ini menyangkut manusia. Kalau dulu kan melalui lembaga keuangan, korporasi jatuh, PHK paling. Kalo ini langsung orang sakit, jadi naturenya lebih dalam karena masyarakat tiba-tiba menjadi setengah lumpuhlah. Seperti sekolah ditutup, pabrik ditutup," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement