Jumat 28 Feb 2020 15:12 WIB

Haruskah Orang Kaya Menikah dengan Orang Miskin?

Muhadjir Effendy mewacanakan meminta fatwa menikah lintas ekonomi.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Muhammad Hafil
Haruskah Orang Kaya Menikah dengan Orang Miskin?. Foto: Pernikahan Ilustrasi
Foto: Republika/Prayogi
Haruskah Orang Kaya Menikah dengan Orang Miskin?. Foto: Pernikahan Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Munculnya wacana dari Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy mengenai penerbitan fatwa agar orang kaya menikah dengan orang miskin atau sebaliknya mengundang pertanyaan masyarakat. Dalam klarifikasinya, Muhadjir menjelaskan pernyataannya sebatas usulan dan tidak menjadi keharusan atau kewajiban bagi orang kaya menikah dengan orang miskin atau sebaliknya.

Menurut Muhadjir, pernyataan itu dimaksudkan agar adanya gerakan moral untuk memutus rantai kemiskinan. Dia menilai, ada kecenderungan di tengah masyarakat bahwa orang kaya harus menikah dengan orang yang kaya. Sementara itu, orang dari keluarga tidak mampu cenderung mencari pasangan dari keluarga tidak mampu sehingga setelah menikah melahirkan rumah tangga miskin baru.

Baca Juga

Lantas, bagaimana Islam mengatur tentang pernikahan berbeda status ekonomi antara orang kaya dan orang miskin? Di dalam Islam, tak ada aturan atau keharusan yang mewajibkan bagi orang kaya menikahi orang miskin atau sebaliknya. Meski ada keterangan bahwa harta menjadi salah satu yang perlu diperhatikan sebelum menikah, hal tersebut tidak menjadi persoalan pokok. Dalam ajaran Islam, yang paling utama untuk diperhatikan seseorang Muslim ketika mencari pasangan adalah agamanya.

Sebagaimana keterangan hadits "Wanita itu dinikahi karena empat hal, karena agamanya, nasabnya, hartanya dan kecantikannya. Maka perhatikanlah agamanya, maka kamu akan selamat," (HR Bukhari Muslim).

Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LBM-PBNU) KH Abdul Moqsith Ghazali mengatakan, dasar hukum orang kaya menikah dengan orang miskin atau sebaliknya diperbolehkan dalam Islam. "Boleh saja, kaya atau miskin tidak menjadi syarat sahnya pernikahan. Maka, boleh saja laki-laki kaya menikahi perempuan miskin, begitu pun sebaliknya," kata Kiai Moqsith kepada Republika, beberapa hari lalu.

Tak ada jaminan menikah dengan orang kaya, kehidupan rumah tangganya akan menjadi sejahtera dan harmonis. Begitu pun sebaliknya, menikah dengan orang miskin belum tentu kehidupannya akan menjadi susah.

Kendati tak ada larangan dalam Islam menikah dengan orang yang kelas dan status sosialnya ekonominya jauh berbeda, menurut Kiai Moqsith, pernikahan berbeda kelas dan status sosial ekonomi justru rentan memunculkan konflik. Kiai Moqsith mencontohkan pernikahan sahabat Zaid bin Haritsah dengan Zainab binti Jahsy. Zaid adalah seorang budak yang kemudian dijadikan anak angkat Rasulullah.

Sementara, Zinab adalah seorang perempuan dari keluarga bangsawan dan terpandang. Namun, pernikahan Zaid dan Haritsah pun tidak berlangsung lama. Pasangan itu bercerai karena terdapat konflik yang dilatarbelakangi perbedaan status tersebut. Namun, kemudian sahabat Zaid menikah dengan Ummu Aiman atau Barkah binti Tsalabah seorang perempuan yang pernah menjadi budak. Kehidupan pasangan itu pun harmonis hingga dikaruniai anak, yakni Usamah bin Ziad.

Sementara, Zainab sendiri kemudian dinikahi oleh Rasulullah. Tak sedikit memang orang kaya atau memiliki status sosial tinggi dan menikahi orang dengan stasus sosial miskin, tapi kehidupannya dapat berjalan harmonis dan sejahtera.

Kiai Moqsith mencotohkan pada perni kah an Ashim bin Umar bin Khattab dengan Ummu Ammarah seorang wanita Anshar. Ashim ber asal dari keluarga terpandang, semen tara Ummu Ammarah adalah wanita dari keluarga miskin. Namun, Ashim dan Ummu Ammarah dapat membangun keluarga yang bahagia hingga dikaruniai keturunan, salah satunya Umar bin Abdul Aziz yang kemudian menjadi khalifah Bani Umayyah.

Menurut Kiai Moqsith, akan lebih baik dalam mencari pasangan untuk menikah adalah yang memiliki banyak persamaan, termasuk dalam hal status sosial ekonomi. Sebab itu, dalam Islam dikenal juga konsep sekufu yang berasal dari kata al kafa'ah yang berarti sepadan.

Menurut Imam Hanafi, seorang yang akan menikah perlu sepadan dalam nasabnya, agamanya, peker jaan, status merdeka atau budak, kualitas beragama, dan strata ekonomi. Sementara, sekufu menurut Imam Malik, yakni dalam hal kesamaan dan kualitas beragama dalam arti orang Muslim harusnya tidak menikah dengan orang fasik.

Sekufu juga dimaknai sebagai kesamaan dalam kesehatan jasmani. Sementara itu, Imam Syafii dalam al- Majmu menjelaskan, sekufu yakni kesamaan dalam nasab, agama, strata sosial merdeka atau budak dan juga pekerjaan. Imam Hanbali menjelaskan sekufu dalam agama, pekerjaan, strata ekonomi, status sosial, dan nasab.

Ketua Umum al-Washliyah, KH Yusnar Yusuf, juga berpendapat bahwa tidak ada aturan dalam Islam yang mengharuskan orang kaya menikah dengan orang miskin atau sebaliknya. Meski demikian, menurut dia, ungkapan Menko PMK dapat dimaksudkan hanya sebatas sebagai anjuran. "Enggak ada wajib, yang kaya nikah sama yang miskin tidak ada aturannya."

sumber : Harian Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement