Senin 24 Feb 2020 18:21 WIB

Angkatan Kerja Indonesia Masih Didominasi Lulusan SLTA

90 persen angkatan kerja di Indonesia diisi dengan orang-orang lulusan SMA.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Dwi Murdaningsih
Siswa SMA. Ilustrasi
Foto: Republika
Siswa SMA. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Deputi Bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Agus Sartono menyampaikan, lulusan SLTA atau SMA berpotensi mendapatkan pemasukan atau income yang rendah, berbeda dengan yang lulusan perguruan tinggi. Sayangnya, angkatan kerja di Indonesia justru didominasi oleh lulusan SMA.

Berdasarkan catatan Kemenko PMK, hampir 90 persen angkatan kerja di Indonesia diisi dengan orang-orang berlatar belakang pendidikan SMA. Hanya sekitar 10 persen yang berasal dari perguruan tinggi. Fakta itu membuktikan bahwa minimnya tenaga kerja terampil tidak sepadan dengan tantangan yang dibawa era 4.0.

Baca Juga

“Kalau hanya lulusan SLTA (tenaga kerja kita), maka kesempatan kerjanya sempit, dan income-nya juga sedikit. Sehingga tabungan untuk negara pun sulit,” kata Agus saat menghadiri acara pelantikan wisuda sarjana dan pascasarjana Institut Agama Islam Nasional (IAI-N) Laa Roiba, di Bogor, Senin (24/2).

Era industri 4.0 yang kerap berbasis internet of things (IoTs) membuat sejumlah lahan pekerjaan berubah drastis. Dia menggambarkan bagaimana lingkungan kerja di negara-negara lain pun ikut berubah. Pekerjaan-pekerjaan lama yang bisa digantikan oleh robot, maka hampir dipastikan punah dan memangkas tenaga kerja yang ada.

“Kalau kita ke luar negeri, sudah nggak ada pelayan atau banyak karyawan-karyawan yang hilang. Kerja mereka digantikan robot atau sistem yang support itu,” kata dia.

Hal serupa sejatinya juga mulai dirasakan di Indonesia. Di mana, kata dia, banyak pekerjaan-pekerjaan lama yang berganti atau hilang sama sekali. Untuk itu dia menekankan pentingnya pendidikan skill dan karakter bagi setiap elemen pendidikan.

Pendidikan skil dan karakter itu menurut dia juga harus dijalankan dengan harmonisasi gizi yang baik. Dalam Human Capital Life Cycle yang disusun Kemenko PMK, dia menjabarkan, pada aspek pertama lingkup kehidupan asupan gizi yang baik perlu diutamakan.

Pada 1.000 hari kelahiran pertama anak, kata dia, merupakan masa paling kritis dalam menentukan regenerasi. “Masa ini bisa kita sebut masa keemasan generasi unggul. Jangan rusak anak dengan (memberi) makanan atau tontonan yang tidak baik, karena dari 1.000 hari pertama inilah sesungguhnya penentuan garis besar masa depan mereka,” ungkapnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement