Senin 24 Feb 2020 15:34 WIB

Rendahnya Kualitas Guru Dinilai Jadi Sebab Dosa Pendidikan

Nadiem menyebut dosa pendidikan yakni intoleransi, kekerasan seksual, dan bullying.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Dwi Murdaningsih
Mendaftarkan anak sekolah (ilustrasi)
Foto: Republika/Rusdy Nurdiansyah
Mendaftarkan anak sekolah (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Satriwan Salim dosa pendidikan yang disebutkan Menteri Pendidikan Nadiem Makarim berkaitan erat dengan kualitas guru. Ia menuturkan, kualitas guru akan sulit dikejar apabila pengelolaannya masih tidak baik.

Satriwan mengatakan salah satu masalah pengelolaan guru, khususnya penanganan honorer. Tahun lalu, pemerintah sudah mengadakan rekrutmen pegawai pemerintah dengan perjanjian kerka (PPPK) namun hingga sekarang para guru yang lolos belum juga mendapat kejelasan.

Baca Juga

"Masa setahun ini mereka terombang-ambing belum ada keputusan apa-apa? Padahal itu perintah negara, mereka mengikuti seleksi itu diselenggarakan oleh negara, sudah dinyatakan lulus tapi dibiarkan begitu saja," kata Satriwan.

Selain itu, untuk guru secara umum, pemerintah harus memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas guru. Sebab, apabila dilihat dari uji kompetensi guru, nilai yang diperoleh para guru mayoritas masih belum memuaskan. Ia mengatakan, ke depannya pemerintah harus benar-benar memberikan perhatian pada peningkatan kualitas guru.

Nadiem sebelumnya menyebutkan tiga dosa dalam pendidikan. Tiga hal yang menurut Nadiem perlu segera dihapuskan adalah intoleransi, dosa kekerasan seksual, dan dosa bullying atau perundungan.

Menurut Satriwan, kualitas pendidikan tanpa intoleransi, kekerasan, dan perundungan dipengaruhi juga oleh kualitas guru. "Bagaimana bisa mencegah radikalisme di sekolah, kalau kapasitas gurunya saja rendah. Kompetensi guru kita juga masih rendah," kata dia.

Guru tidak bisa serta merta disalahkan atas ketidakmampuan mereka. Sebab, masalah besar lainnya, yakni pemerintah khususnya di daerah tidak serius menangani masalah pendidikan dilihat dari anggaran yang dialokasikan kepada bidang tersebut.

Ia menjelaskan, di dalam Undang-undang 1945 Pasal 31, disebutkan anggaran pendidikan alokasinya minimal 20 persen baik di APBN dan APBD. Namun, daerah-daerah di Indonesia sebagian besar belum menjalankan perintah konstitusi tersebut.

Masih banyak pemerintah daerah yang mengalokasikan anggaran pendidikan di bawah 10 persen. Menurut Satriwan, hal itu merupakan dosa terbesar pemerintah dalam pendidikan karena tidak sesuai dengan konstitusi.

"Pendidikan berkualitas macam apa yang bisa kita harapkan dari alokasi pendidikan yang cuma 1, 2, 3, 5 persen itu. Jadi, tambahan dari saya itu yang leih dahsyat persoalan dua ini. Inilah dosa terbesar," kata dia lagi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement