Selasa 11 Feb 2020 18:56 WIB

Rekrutmen Honorer Melalui Outsourcing Dipertanyakan

Pemerintah sebaiknya membuat aturan agar honorer mendapatkan gaji layak.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Ratna Puspita
Ilustrasi guru honorer. Pemerintah harus memberikan penjelasan terkait lampu hijau bagi pemerintah daerah untuk melakukan rekrutmen honorer dengan pihak ketiga atau outsourcing.
Foto: ANTARA/ASEP FATHULRAHMAN
Ilustrasi guru honorer. Pemerintah harus memberikan penjelasan terkait lampu hijau bagi pemerintah daerah untuk melakukan rekrutmen honorer dengan pihak ketiga atau outsourcing.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Umum Perkumpulan Honorer K2 Indonesia (PHK2I) Titi Purwaningsih meminta penjelasan terkait lampu hijau bagi pemerintah daerah untuk melakukan rekrutmen honorer dengan pihak ketiga atau outsourcing. Rekrutmen melalui pihak ketiga memosisikan instansi pemerintah seperti perusahaan atau organisasi swasta.

"Pemerintah kan bukan swasta, bukan perusahaan. Kita juga tidak bisa dikatakan sebagai tenaga harian lepas, karena kita diinstansi pemerintah. Apa iya kok mau sampai di-outsourcing?" kata dia, Selasa (11/2).

Baca Juga

Titi mengatakan apabila kebijakan tersebut dilakukan sambil menunggu kebijakan yang jelas maka tidak ada masalah menerapkan sistem dengan pihak ketiga tersebut. Namun, ia mengingatkan, jangan sampai sistem dengan pihak ketiga itu justru memosisikan tenaga honorer sebagai pegawai sementara yang digunakan ketika dibutuhkan. 

Ia menganggap, sistem honorer mengikuti aturan outsourcing tersebut tidak tepat. Sebab, para tenaga honorer ini rata-rata sudah mengabdi lama.

Titi pun mempertanyakan, ketika setiap tahun dilakukan rekrutmen CPNS atau PPPK, bagaimana tenaga outsourcing tersebut. "Apakah iya, digunakan saja ketika dibutuhkan tenaganya, kalau tidak mau dibuang?" kata dia.

Ia mengatakan, pemerintah daerah mestinya diberikan mandat untuk mengakomodir tenaga honorer K2. Selain itu, ia menambahkan pemerintah sebaiknya membuat payung hukum untuk mengakomodir honorer agar mendapatkan gaji yang layak. 

"Ya benar-benar minimal itu disetarakan dengan UMK, tapi itu dipekerjakan terus menerus sampai mereka pensiun. Dalam masa pensiun juga diperhatikan pesangonnya," kata Titi menegaskan. 

Sementara itu, Dewan Pembina DPP Forum Guru Honorer, Tenaga Honorer dan Honorer Swasta Indonesia (FGTHSI), Didi Suprijadi mengatakan apabila diterapkan sistem outsourcing maka akan merugikan yang sudah mengabdi bertahun-tahun. Ia khawatir nantinya tenaga honorer justru tidak memiliki jaminan sosial. 

Selain itu, ia menambahkan dirinya khawatir apabila orientasinya nanti tenaga honorer digunakan untuk mencari keuntungan saja. "Outsourcing adalah pegawai alih daya, di mana pegawai untuk mengerjakan pegawai dari sub kontrak dari yang punya pekerjaan. Tidak semua pekerjaan di-outsourcing," kata Didi.

Sebelumnya, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi memperbolehkan pemerintah daerah menambah pegawai honorer meski pemerintah pusat sedang menata pegawai tidak tetap itu. Menteri PAN-RB Tjahjo Kumolo di Batam, Kepulauan Riau, Senin (10/2), mengatakan pemenuhan tenaga honorer itu diperbolehkan melalui sistem outsourcing.

Meski boleh menambah tenaga honorer, menteri mengingatkan pemerintah daerah tidak boleh menjanjikan akan ada pengangkatan menjadi PNS. "Jangan sampai diiming-imingi atau diharapkan jadi ASN, jangan," kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement