Sabtu 01 Feb 2020 12:42 WIB

Ragam Hukum Waris Bagi Bayi dalam Islam

Para ulama berbeda pendapat soal hukum waris bagi bayi yang ada di dalam kandungan.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Ragam Hukum Waris Bagi Bayi dalam Islam . Foto: Ilustrasi Kaki Bayi
Foto: Pixabay
Ragam Hukum Waris Bagi Bayi dalam Islam . Foto: Ilustrasi Kaki Bayi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Apabila seorang laki-laki (ayah) meninggal dunia pada saat istrinya tengah mengandung, para ulama berbeda pendapat mengenai hukum waris bagi bayi yang ada di dalam kandungan tersebut. Para ulama juga berbeda pendapat mengenai besaran bagian waris bagi bayi tersebut.

Islam memang tak hanya membahas mengenai perkara ibadah antara manusia dengan Allah saja. Lebih dari itu, berbagai aspek kehidupan dari manusia tak lepas dari aturan dan tuntunan yang telah disajikan yang bersumber dari Alquran dan hadis.

Baca Juga

Dari kedua sumber itulah, khazanah keilmuan Islam berkembang luas dan pesat. Hal itu sangat mungkin menciptakan perbedaan pendapat di kalangan ulama, yang mana perbedaan pendapat itu sejatinya adalah bagian dari kekayakaan khazanah Islam kita.

Untuk itulah, pembagian hukum waris mengenai bayi dan status bayi pun layak untuk dipaparkan. Melalui sudut pandang berbagai ulama dari berbagai madzhab, pendapat-pendapat ini semoga dapat menjadi referensi singkat yang dapat membuka cakrawala kita terhadap dunia hukum Islam.

Dalam buku Fiqih Lima Mazhab karya Muhammad Jawad Mughniyah dijelaskan, ulama memang berbeda pendapat mengenai hukum waris itu. Jika dimungkinkan memperoleh kejelasan tentang bayi yang ada di dalam kandungan, maka bayi tersebut dapat diberikan bagian warisnya sesuai dengan hasil pembuktikan yang dilakukan.

Namun apabila tidak mungkin dilakukan pembuktian terhadap kehamilan tersebut, maka disisakanlah suatu bagian tertentu untuk bayi yang masih dalam kandungan tadi. Bagian waris bagi bayi yang ditinggal mati ayah semasa dalam kandungan ini menuai perbedaan di kalangan beberapa madzhab ulama.

Mazhab Hanafi berpendapat, disisakan untuknya satu bagian sebesar bagian seorang anak laki-laki. Sebab lazimnya seorang anaklah yang dilahirkan, sedangkan lebih dari seorang masih merupakan praduga (atau si ibu belum mengetahui jenis kelamin si bayi dalam kandungan tersebut).

Al-Maridini misalnya, pernah menuturkan, bahwa terdapat seorang Muslim terkemuka yang bercerita kepadanya mengenai seorang Muslimah Yaman yang melahirkan sebuah gelembung (buntalan) yang diduga tidak berisi anak. Namun begitu buntalan itu dilemparkan begitu saja, terdapat sesuatu yang bergerak-gerak di dalamnya dan membelah buntalan itu. Ternyata itulah tujuh bayi laki-laki di dalamnya.

Sedangkan dalam buku Al Mirats fi Al-Syari’ah Al Islamiyah karya Muhammad Musthafa dan Muhammad Sa’fan, pendapat para ulama dari madzhab Malik dan Syafi’i berpendapat, disisakan untuk bayi bagian warisnya. Bagiannya yaitu sebesar bagian empat orang anak laki-laki dan empat orang anak perempuan. Sebab dapat dimungkinkan adanya janin kembar di dalam kandungan si ibu.

Hal berbeda juga menjadi diskursus bagi para ulama. Mislanya mengenai hukum waris bagi anak hasil lia’an (sumpah suami yang menuduh istrinya berzina) tersebut dengan ayahnya atau orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan anak tersebut melalui jalur ayah.

Para ulama mazhab selanjutnya sepakat bahwa terdapat hak waris-mewarisi tentang adanya hak waris-mewarisi antara anak hasil li’an dengan ibunya dan orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengannya melalui jalur ibu.

Dalam hal ini, hak waris-mewarisi terhadap anak itu sama besarnya antara yang memiliki hubungan melalui jalur ibu dengan mereka yang memiliki hubungan melalui jalur ayah dan ibu (kandung). Saudara-saudaranya yang seayah dan seibu sama derajatnya dengan saudara-saudaranya yang seibu.

Selain permasalahan hukum waris kedua bagian tadi, Islam juga mengatur pembagian hukum waris terhadap anak zina. Misalnya, para ulama dari empat madzhab sepakat bahwa anak zina itu sama hukumnya dengan anak hasil mula’anah (li’an) yang kaitannya dengan hak waris-mewarisi.

Adapun hak waris-mewarisi ini berada antara dirinya dengan ayahnya, dan adanya hak mewarisi antara dia dengan ibunya. Sedangkan madzhab Imamiyah merupakan satu-satunya madzhab yang berpendapat tidak ada hak waris-mewarisi antara anak zina dengan ibu zinanya.

Hal itu sebagaimana halnya dengan dia dan ayah zinanya. Ulama dari kalangan ini berpendapat bahwa faktor penyebab dari keduanya adalah sama, yaitu perzinahan.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement