Jumat 31 Jan 2020 15:07 WIB

'Perlu Cara Berpikir Kritis untuk Lawan Intoleransi'

Para anggota grup di medsos umumya belum bisa menyaring informasi dengan baik

Media sosial
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Media sosial

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Dunia maya dengan berbagai konten informasinya telah menjadi ruang publik baru di mana fakta, nilai, dan opini bertebaran secara luas. Dalam konteks inilah, masyarakat diuji untuk lebih cerdas dalam membaca peristiwa dan fakta di era media digital untuk tidak terjebak pada disiformasi yang dapat memecah belah masyarakat.

Guru Besar Ilmu Filsafat dari Universitas Katolik Parahyangan (Upar) Bandung, Prof Ignatius Bambang Sugiharto mengatakan bahwa dalam menggunakan media sosial (medsos) sebetulnya banyak peluang yang bisa dilakukan masyarakat para pengguna medsos itu untuk tetap menjaga sikap rasional.

“Saya kira kita harus belajar berpikir terbuka dalam melihat perbedaan komentar dari berbagai pihak di media sosial. Karena orang bisa belajar melihat mana komentar dangkal, mana yang mendalam dan mana orang yang nalarnya bagus dalam menggunakan di medsos,” ujar Bambang di Bandung, Rabu (29/1).

Hanya saja, kemudian Bambang menyayangkan para anggota grup-grup ada di berbagai media sosial yang umumya belum bisa memfilter informasi dengan baik, sehingga yang dilihat hanya yang sesuai dengan ideologi dari grupnya saja.

“Tentunya hal seperti ini kemudian menyebabkan terjadinya pembenaran diri secara terus menerus di kelompok itu. Cara terbaik menghadapi medsos akhirnya adalah dengan memperdalam kemampuan untuk merenung atau reflektif diri dengan membiasakan membaca esai atau tulisan-tulisan berbobot. Ini agar daya kritis kita bisa terus terasah,” kata pria yang juga dosen di Fakultas Filsafat Unpar ini menjelaskan.

Lebih lanjut, pria kelahiran Tasikmalaya 6 Maret 1956 ini juga menyampaikan bahwa ada banyak hal yang bisa menjadi penyebab dari penyebaran intoleransi dan juga radikalisme di medsos.

“Pertama, krisis identitas dimana individu atau kelompok merasa tidak dihargai dalam lingkungan sosialnya kemudian dia mencari pelarian di medsos. Kedua, emosi yang labil, hal ini rentan untuk dipermainkan dan disusupi oleh kelompok tertentu yang memiliki kepentingan,” tutur Bambang.

Oleh karena itu pria yang merupakan ahli di bidang filsafat kebudayaan serta paradigma postmodernisme ini menyarankan agar masyarakat untuk selalu dapat bersikap kritis dalam menggunakan media sosial untuk membentengi diri agar tidak mudah terprovokasi yang bersumber dari satu pihak atau golongan tertentu saja.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement