Sabtu 25 Jan 2020 06:03 WIB
Imlek

Kemeriahan Imlek Era Belanda, Nyari Jodoh Sampai Cuci Mata

Lima belas hari setelah Imlek akan digelar perayaan Capgomeh.

Tahun Baru Imlek (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Tahun Baru Imlek (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Masyarakat Tionghoa merayakan Imlek hari ini. Di tempo doeloe Imlek dirayakan sampai dengan pesta capgomeh (Cap Gouw Meh), yakni malam ke-15 setelah Imlek. Capgomeh merupakan pesta rakyat semalam suntuk yang secara bergantian diadakan di berbagai tempat di Jakarta.

Pada masa Olanda sampai Orde Lama, pihak gementee/ (pemerintah) tak pernah melarang pesta capgomeh, termasuk ngarak topekong keliling kota. Mengingat situasi keamanan yang masih rawan, tahun ini capgomeh di Jakarta yang akan berlangsung minggu depan hanya akan dirayakan pagi dan siang hari. Sedang malam hari akan berlangsung di kota Bogor.

Sampai kini di berbagai pertokoan yang banyak dikunjungi warga Tionghoa, masih terlihat berbagai etalase warna merah paling menyolok. Menurut keyakinan mereka, merah lambang kegembiraan. Ada tengloleng (lampion) yang bentuknya bundar, berbagai pajangan untuk digantung di pintu atawa tembok. Bermacam barongsai mini, disamping ang-pauw warna merah. Tidak ketinggalan tentu saja kue keranjang (tie-kwee) alias kue cina yang keluarnya memang setahun sekali.

Tentu saja paling banyak terdapat kata Gongxi Facai. Mungkin banyak yang tidak tahu apa arti kata dari bahasa Mandarin ini. Menurut David Kwa, pakar sinolog dari UI, dalam dialek Mandarin kata-kata itu berarti ‘Selamat Menjadi Kaya’. Ucapan Gongxi Facai untuk mengucapkan selamat tahun baru Imlek berasal dari Hongkong, dan baru populer di Indonesia tahun 1990-an.

Di tempo doeloe ucapan berupa Sin Chun Kiong Hie atau ”selamat tahun baru dan panjang umur”. David mengakui, ucapan Gongxi Facai berbau materialistis. Memang demikianlah watak orang Hong Kong, akibat hidup yang keras, mereka mengejar kekayaan.

Pesta Imlek di Betawi tempo doeloe punya kekhasan sendiri, tidak sama dengan Imlek di lain-lain negara. Di Betawi sangat kental dengan variasi lokal, yang tidak bakalan ditemukan di mana juga di seantero dunia.

Menurut penuturan orang tua di permulaan abad ke-20, beberapa hari sebelum Imlek orang sudah sibuk membersihkan rumah masing-masing sebersih-bersihnya. Pintu dan jendela dicat, tembok dikapur, ubin dan perabotan rumah digosok sampai mengkilap.

Nyonya-nyonya rumah pada repot bikin kue kering, salah satunya yang sangat disuka kue satu. Kue ini terbuat dari kacang ijo yang digerus. Para nyonya rumah juga kagak lupa bikin ager-ager, manisan buah atep, dan manisan buah ceremai.

Dalam menyambut Imlek, warga Tionghoa Betawi punya tradisi yang unik. Dengan digelarnya pasar malam beberapa hari menjelang Imlek. Di pasar malam ini disediakan keperluan mereka yang ingin berbelanja. Letaknya kala itu di sekitar lapangan Glodok dan Pancoran. Di sini juga orang menjual ikan bandeng dan kue Cina —dua sekawan keperluan yang selalu dicari pada saat Imlek.

Tidak ketinggalan, dan merupakan satu kemustian, bagi calon mantu untuk membawakan ikan bandeng dan kue cina pada calon mertoku. Berarti si calon mantu benar-benar menghargai calon mertuanya.

Jangan main-main, calon mantu yang kagak membawanya, anteran bisa di-onslaag jadi mantu. Itulah kebiasaan tempo doeloe di mana orang tua punya hak prerogatif terhadap anak gadisnya.

Pasar malam tempo doeloe juga jadi ajang untuk cuci mata. Saat itu, gadis-gadis Tionghoa masih dipingit. Mereka tidak boleh keluar rumah dan terima tamu pria. Kalau sekarang ada istilah jodoh di tangan Hansip akibat begitu bebasnya pergaulan.

Waktu dulu sangat sulit buat perjaka dan gadis untuk saling ketemu. Apalagi memilih jodoh sendiri. Cuma di pasar malam dan pada malam capgomeh saja para gadis boleh keluar rumah. Itu pun dengan kawalan ketat familie yang lebih tua. Seperti diceritakan David Kwa, kesempatan itu biasanya diatur sesudah melewati pukul 12 tengah malam.

Beberapa hari jelang capgomeh (malam ke-15 setelah Imlek), rombongan pemain Tanjidor yang berasal dari Portugis berdatangan ke Jakarta, khususnya ke daerah yang banyak warga Tionghoanya. Mereka yang datang dari Karawang, Bekasi, Tambun, dan Cikarang, beranggotakan 8 sampai 10 orang, mendatangi rumah-rumah Tionghoa untuk ngamen.

Satu dua hari menjelang capgomeh berbagai tontonan seperti gambang kromong dengan wayang cokeknya digelar di sejumlah tempat. Mereka menyanyikan lagu-lagu berirama Cina dan Betawi.

Di hari capgomeh biasanya tidak lupa orang mengarak atau menggotong topekong. Menurut David Kwa, ”ini ritual dimaksudkan untuk menjaga keselamatan seantero penduduk dari gangguan setan dan iblis.”

Dalam keramaian itu tidak lupa dimainkan langliong (tari naga) dan lang-saij (tari singa atawa barongsai) dari berbagai boe-koan (perkumpulan silat) yang ada di Betawi. Pertunjukan itu, kata David Kwa, guna menolak berbagai pengaruh jahat yang selama setahun tidak keburu dibersihkan dan untuk mengundang keberuntungan.

Liong (naga) dan saij (singa) merupakan binatang yang menurut kepercayaan Tionghoa dianggap membawa keberuntungan dan mengusir kesialan. Gongxi Facai (selamat menjadi kaya).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement