Jumat 17 Jan 2020 14:29 WIB

Hukum Makan Darah Ikan dalam Islam

Makan daging ikan dihukumi halal dalam Islam, lalu bagaimana dengan darahnya?

Rep: Imas Damayanti/ Red: Muhammad Hafil
Hukum Makan Darah Ikan dalam Islam. Foto: Ikan (Ilustrasi).
Foto: Youtube
Hukum Makan Darah Ikan dalam Islam. Foto: Ikan (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ikan sekaligus bangkainya telah lumrah diketahui berstatus halal untuk dikonsumsi. Lantas, bagaimana hukum memakan darah ikan? Apakah darah ikan ikut menjadi halal atau kah dikategorikan sebagai suatu benda yang najis?

Sebagaimana diketahui, memakan daging ikan atau apapun yang berasal dari laut dihukumi halal. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Maidah ayat 96 berbunyi: “Uhilla lakum shaydul-bahri wa tha’amuhu mata’an lakum wa lissayyaroti wa hurrima alaikum shaydul barri ma dumtum huruman. Wattaqullaha alladzi ilaihi tuhsyarun,”.

Baca Juga

Yang artinya: “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan. Dan diharamkan atasmu menangkap binatang buruan darat, selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah, yang hanya kepadaNya lah kamu akan dikumpulkan,”.

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum mengkonsumsi darah ikan. Sebagian ulama menganggapnya najis, dan sebagian lainnya menganggapnya tidak najis.

Berdasarkan kitab Bidayatul Mujtahid karya Ibnu Rusyd, ulama-ulama dari kalangan Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa hukum memakan darah ikan itu ada dua.

Pertama menurut yang paling shahih, hukum memakannya adalah najis.

Pendapat ini juga diamini oleh para ulama dari kalangan masdzhab Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Dawud. Sedangkan yang kedua, menurut ulama-ulama dari madzhab Imam Abu Hanifah, memakan darah ikan hukumnya adalah suci.

Sedangkan pendapat ulama yang menghukumi makan darah ikan itu haram mengacu pada firman Allah SWT dalam Alquran Surah Al-Maidah ayat 3 yang artinya: “Diharamkan atas kamu bangkai, darah...”.

Ibnu Rusyd menerangkan, ayat tersebut menunjukkan atas keharaman darah yang mengalir. Darah yang tumpah akibat disembelih maupun yang tidak tumpah sama-sama haram. Sementara dalam firman Allah SWT dalam Surah Al-An’am ayat 1 yang artinya: “Atau darah yang mengalir (tumpah),”, menunjukkan bahwa yang diharamkan hanya darah yang tumpah dari hewan sembelihan saja.

Adapun ulama-ulama yang menafsiri ayat yang bersifat mutlak atau umum dengan menggunakan pengertian bersifat khusus (muqoyyad), mensyaratkan bahwa untuk dihukumi haram, darah harus yang mengalir atau tumpah dari hewan yang disembelih. Sebaliknya bahwa ulama-ulama yang berpendapat bersifat mutlak, mengandung hukum tersendiri.

Ulama-ulama tersebut mempertentangkan yang muqayyad pada yang mutlak merupakan dalil kitab. Sementara yang mutlak itu bersifat umum, dan yang umum lebih kuat daripada dalil kitab. Untuk itulah mereka memutuskan berdasarkan yang mutlak.

Ibnu Rusyd menjabarkan, untuk itulah mereka mengatakan bahwa darah yang banyak maupun yang sedikit tetaplah haram. Status mengalir yang menjadi syarat diharamkannya darah, ialah darah dari hewan halal yang disembelih.

Adapun penyebab timbulnya perbedaan pendapat ini di antara para ulama tentang darah ikan, karena adanya pertentangan antara dalil umum dengan qiyas. Dalil umumnya mengacu pada firman Allah di kata “dan darah”. Sedangkan qiyas-nya adalah kemungkinan adanya darah yang diharamkan hanya beralku untuk hewan yang haram bangkainya.

Dalam hal ini, para ulama ahli fikih mengemukakan sebuah hadis yang men-takhshish ayat yang bersifat umum. Rasulullah SAW bersabda: “Uhillat lana maytatani wa damani,”. Yang artinya: “Dihalalkan untuk kita dua bangkan dan dua darah,”. Ibnu Rusyd meyakini, hadis tersebut tidak termuat dalam kitab-kitab hadis yang terkenal.

Dari perbedaan pendapat yang ada di kalangan ulama mengenai hukum memakan darah ikan ini, para penganut madzhab tertentu boleh saja mengambil sikap satu di antara banyak hal yang disajikan.

Binatang yang haram dimakan

Perihal makanan-makanan yang dipersisihkan substansinya, Ibnu Rusyd memerincikannya sebanyak empat jenis. Pertama, yakni daging binatang buas, baik burung mauoun binatan ternak berkaki empat.

Kedua, daging binatang yang berkuku dan bercakar. Ketiga, daging binatang yang diperintahkan untuk dibunuh saat berihram. Dan keempat, daging binatang yang menjijikan. Abu Hamid mengutip dari Imam Syafi’i menyebut, mengharamkan daging hewan yang dilarang dimakan.

Contohnya seperti binatang-binatang penyambar atau penyengat, termasuk di dalamnya adalah lebah. Sehingga menurutnya, itu adalah jenis binatang kelima yang diperselisihkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement