Kamis 16 Jan 2020 06:45 WIB

Cinta Terlarang Puji

Selalu ada tempat untuk bertaubat, dan aku masih menyisakan hati untukmu kembali.

Ilustrasi pasangan suami istri
Foto:

Semesta bekerja dengan caranya. Takdir bergerak sesuai yang tertulis di kitab tempat Allah menuliskan segala seluruh catatan kejadian di alam semesta.

Dua pekan setelah pertemuan dengan Ega, aku dipertemukan dengannya, dengan seseorang yang pernah dekat denganku, dengan seseorang yang hampir aku nikahi. Dengan Eka. Kami bertemu lagi, di saat berbeda, tapi dengan perasaan yang masih sama. Sepertinya.

Pertemuan yang sudah tertuliskan sejak jutaan tahun sebelum aku dan dia diciptakan itu terjadi di sebuah toko buku ternama. Dan aku tak bisa menghindari takdir-Nya. Saat sedang mencari buku resep masak, mataku menangkap Eka yang sedang sibuk berburu majalah otomotif. Seperti sudah digariskan, di detik yang sama pandangan matanya mengarah ke mataku.

Aku menangkap keterkejutan di matanya, dari air mukanya. Tetapi dia bisa menguasai keadaan. Dia tersenyum, tapi aku malah melamun. Canggung langsung merasuk dan merusak gaya tubuhku. Dia mendekat. Melangkah percaya diri dengan setelan jaket sporty biru dengan lambang merek ternama di dada kirinya. Warna biru muda, warna favoritnya.

"Apa kabarnya kamu?"

Aku masih diam. Mengamatinya yang kini hanya berjarak satu meter dari tempatku berdiri.

"Puji. Kamu gak apa-apa?"

Lamunanku buyar. Aku tersadar dan berusaha memperbaiki kecanggungan. "Sehat. Kamu sehat?"

Dia menjawabnya dengan tersenyum. Jantungku seperti sempat berhenti berdetak saat itu. Tapi aku berusaha menguasai keadaan.

Akhirnya kami tak jadi beli buku. Aku malah mengiyakan ajakannya untuk ngobrol di cafe kopi dekat tempat parkir mobil di bawah gedung toko buku itu.

"Kamu masih dengan Beni?"

"Ehmmm, masih," jawabku singkat.

Detik berikutnya bumi seperti menghentikan putarannya. Masa seolah tiada. Anehnya dia bisa menguasai keadaan, sementara aku digelayuti kebimbangan. Aku tak berani menatapnya lama-lama. Meski begitu, obrolan kami berjalan semampunya.

Pelan tapi pasti pembicaraan kami pun mengalir. Tapi bukan lagi soal pasangan. Dia malah bertanya soal hobi baruku, memasak. Sementara aku juga bertanya konsistensinya di dunia otomotif.

Satu jam terlumat sudah oleh kami berdua. Ponselku berbunyi. Bersamaan itu ponselnya juga berdering.

"Dari Beni?" tanya dia singkat sembari mengecek ponselnya. Pesan singkat sepertinya.

"Iya. Mas Beni. Dia mau jemput aku. Dia sudah diparkiran dan mau jemput aku ke sini."

Lima menit kemudian, Mas Beni datang. Dia melambaikan tangan dan mendekat ke meja yang kami duduki.

"Hai," sapa Mas Beni.

"Mas, kenalkan ini Eka."

Mereka saling melempar senyum dan mengangkat tangan. Satu orang yang mengisi rasa kosongku karena ditinggalkan cinta, satu lainnya yang pernah meninggalkanku saat di puncak bahagia. Orang itu ada di hadapan aku dan Mas Beni, masih duduk santai dengan kaki kanan bersilang di kaki kiri.

Tanpa banyak basa-basi, aku pamit. Kuseruput sisa kopi dari gelas plastik cafe yang bertuliskan namaku; Pujianto.

"Ayo Mas, kita pulang," kataku sambil menggandeng lengan Mas Beni.

Kutinggalkan dia. Kutinggalkan Eka yang masih duduk terdiam di atas kursi putih polos dari bahan plastik berkaki baja putih. Mataku mengabadikan tubuhnya sebelum aku keluar cafe. Ia mengeluarkan ponsel dan terlihat mengetik sesuatu.

Aku dan Mas Beni kini duduk di dalam mobil. "Itu mantan tunangan kamu, sayang? Ternyata yang namanya Eka cantik juga ya," Mas Beni buka suara sembari menyalakan mobil.

Aku hanya menjawab dengan senyuman. Ponselku bergetar. Pesan singkat masuk. Tertera nama yang akrab di kehidupanku dua tahun lalu. Nama yang tidak aku hapus dari daftar kontakku. Ekawati. Mantan tunangan yang membuat separuh jiwaku melayang. Perempuan yang hampir menjadi pasangan hidup namun meninggalkanku ketika rasa cinta sedang meletup-letup.

Dia, perempuan yang meninggalkanku dan membuatku berubah. Yang membuatku tidak percaya akan cinta yang diberikan mahkluk cantik bernama wanita.

"Aku masih menunggu kamu kembali. Aku harap kamu bisa memaafkan aku dan aku harap kamu kembali jadi Pujianto yang aku cinta. Berharap kamu kembali menjadi laki-laki yang aku sayang. Aku menunggu kamu kembali ke dunia nyata, bukan dunia terlarang. Allah selalu punya tempat untuk umatnya bertaubat. Dan aku masih menyisakan hati untuk kamu kembali."

Kubaca perlahan pesan singkatnya, lalu menutup ponselku. Ada sesuatu yang meraba hatiku. Entah perasaan apa. Seseorang dalam diriku berkata, "jalanmu kini salah."

Kupejamkan mata, dan aku memilih pura-pura tertidur ketika Mas Beni mengelus rambut lurusku yang kini gondrong sebahu.

 

TENTANG PENULIS

KARTA RAHARJA UCU, saat ini bekerja sebagai wartawan Republika. Pemilik akun Instagram: @kartaraharjaucu dan channel Youtube: Karta Raharja Ucu. Kunjungi blog Karta Raharja Ucu di www.kartaraharjaucu.blogspot.com

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement