Senin 13 Jan 2020 04:07 WIB

Kasus Suap Komisioner KPU dan Harapan Perubahan pada Pemilu

Kasus suap penyelenggara pemilu bisa membuat rakyat ragu akan pemilu jujur dan adil.

Lambang KPU (ilustrasi).
Foto: Antara
Lambang KPU (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JEMBER -- Kasus suap menyuap jabatan kembali menambah deretan panjang catatan hitam perpolitikan di Indonesia. Kali ini melibatkan politisi partai dengan komisioner KPU Wahyu Setiawan (WSE).

KPK berhasil melakukan OTT pada hari Rabu, 8 Januari lalu dengan mengamankan WSE dan 3 orang lainnya berikut barang bukti berupa uang Rp 400 juta dalam bentuk dollar Singapura. Mereka diduga terlibat tindak pidana korupsi menerima hadiah terkait penetapan anggota DPR RI terpilih tahun 2019-2024. KPK menyatakan WSE meminta uang Rp 900 juta untuk memuluskan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR asal PDIP. 

Kasus suap yang menimpa KPU sebagai lembaga yang dipercaya menyelenggarakan pemilu bisa membuat rakyat ragu dan memupuskan harapan mereka akan terselenggaranya pemilu yang jujur dan adil. Karena sejatinya proses pemilu adalah hajatan besar demokrasi untuk memilih wakil-wakil rakyat yang kredibel, dan amanah. Maka seharusnya penyelenggaranya juga menjaga kredibilitasnya.

Wakil ketua KPK Lili Pantauli mengungkapkan persekongkolan jahat antara penyelenggara pemilu dengan politikus dapat disebut sebagai pengkhianatan terhadap proses demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah dan ongkos mahal. Dan KPK berharap proses hukum ini sebagai bagian dari penyelamatan lembaga KPU agar orang-orang yang bermasalah segera ditindak dan tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar.

Deretan kasus korupsi, suap menyuap maupun jual beli jabatan bukan hal baru dalam pemerintahan kita. Sudah menjadi wacana umum politik uang selalu terjadi tidak hanya di pemerintahan pusat tetapi juga daerah. Korupsi diketahui seperti fenomena gunung es. Sehingga komitmen pemberantasan korupsi seakan-akan jargon belaka. Kita patut mempertanyakan mengapa hal ini bisa terjadi.

Beberapa pengamat politik menyebutkan bahwa kondisi politik dan sistem kepartaian yang ada di Indonesia memang meniscayakan korupsi dan suap menyuap mudah terjadi. Hal ini terkait dengan biaya politik yang tinggi baik untuk syarat pendirian maupun keikusertaan parpol dan individu dalam pemilu.

Akibatnya parpol dan individu yang berniat maju dalam kontestasi harus bekerja keras menutup modal dengan berbagai macam cara, termasuk kolaborasi dengan pengusaha. Selain itu sistem kontrol dan sistem hukum yang lemah membuat kecurangan lambat laun dianggap sebagai kewajaran dan kekhilafan. Faktanya masih banyak kasus korupsi yang tidak terpecahkan dengan tuntas karena canggihnya modus kecurangan akibat begitu lemahnya pengawasan.

Sistem saat ini juga berpeluang memberi ruang untuk terbukanya politik transaksional, ada tawar menawar jabatan dengan kompensasi tertentu. Hal ini karena sekulerisme yang menjadi asas dalam demokrasi tidak memberikan ruang kepada agama untuk mengatur kehidupan, tetapi hanya ditempatkan di ranah individu. Khususnya agama Islam yang memiliki keyakinan bahwa setiap sisi kehidupan termasuk pola pikir dan sikap manusia tidak bisa lepas dari aturan Sang Pencipta, bahkan kelak dipertanggungjawabkan.

Padahal seandainya keyakinan ini menjadi landasan tidak hanya dalam konteks kehidupan pribadi, namun juga bermasyarakat dan bernegara maka akan mengarahkan para politisi dan pejabat untuk taat pada hukum syara. Termasuk haramnya melakukan kecurangan dalam urusan mereka. Inilah yang disebut Taqwa.

Selain itu dalam Islam sistem politiknya menjadikan negara berfungsi sebagai pengurus umat dan penjaga mereka dari kadzaliman dan kemaksiatan. Sistem sosial dan budayanya juga kental dengan suasana amar ma’ruf nahi munkar. Sehingga segala bentuk penyimpangan bisa tercegah dari awal. Termasuk mampu menciptakan sistem birokrasi yang transparan.

Ini semua diperkuat dengan sistem sanksi dalam Islam yang berdimensi dunia akhirat, yaitu selain berfungsi sebagai efek jera juga menghapus dosa di akhirat.

Akan tetapi jika asas sekulerisme ini masih terus dipertahankan di negeri ini, kecurangan-kecurangan dalam politik ini akan terus ada. Termasuk KPU sebagai lembaga yang dipercaya menyelenggarakan pemilihan wakil-wakil rakyat makin tercoreng dan hancur kredibilitasnya. Jika demikian akankah rakyat bisa berharap pemilu mampu membawa perubahan yang lebih baik untuk Indonesia.

*Oleh: Fata Vidari, S.Pd, Pendidik dan Ibu rumah tangga, Banyuwangi, Jawa Timur

Disclaimer: Retizen bermakna Republika Netizen. Retizen adalah wadah bagi pembaca Republika.co.id untuk berkumpul dan berbagi informasi mengenai beragam hal. Republika melakukan seleksi dan berhak menayangkan berbagai kiriman Anda baik dalam dalam bentuk video, tulisan, maupun foto. Video, tulisan, dan foto yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, berita kebohongan, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain. Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim. Silakan kirimkan video, tulisan dan foto ke [email protected].
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement