Kamis 09 Jan 2020 16:42 WIB

Penelitian Perubahan Iklim Perlu Ditingkatkan

Penelitian berkaitan perubahan iklim di Indonesia dinilai belum banyak didorong.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Yudha Manggala P Putra
Awan mendung menyelimuti langit Jakarta, pertanda hujan segera turun.
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Awan mendung menyelimuti langit Jakarta, pertanda hujan segera turun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penelitian mengenai dampak perubahan iklim dinilai masih perlu ditingkatkan. Di Indonesia, peneliti yang melakukan penelitian berkaitan dengan perubahan iklim dan ekosistem masih belum banyak didorong oleh pemerintah.

Wakil Rektor Bidang Penelitian, Pengabdian Masyarakat, dan Kerja Sama Universitas Nasional (UNAS), Ernawati Sinaga mengatakan pengaruh perubahan iklim sangat penting.

"Perubahan iklim sebetulnya (berpengaruh) terhadap semua makhluk hidup pasti dampaknya, tapi kali ini kami menyoroti pada dampak dari climate change pada primata," kata Ernawati, ditemui usai membuka simposium Indonesia Primate Conservation and Climate Change di Gedung LIPI, Kamis (9/1).

Menurut Ernawati, perubahan iklim dampaknya akan sangat luas dan berujung pada kehidupan manusia. Namun, kali ini Unas lebih berfokus kepada dampaknya kepada primata karena salah satu topik yang paling banyak risetnya adalah soal primata.

"Primata dunia sebagian besar ada di Indonesia makanya diangkat pembahasan dampak ke primata. Tapi akan kita teruskan dampaknya ke yang lain," kata dia lagi.

Ia mengatakan, selama ini dana yang diberikan pemerintah terkait penelitian untuk perubahan iklim tidak banyak. Menurutnya, pemerintah lebih banyak berfokus kepada hilirisasi hasil penelitian, sementara pembahasan mengenai primata dan perubahan iklim tidak terlalu terlihat dampaknya bagi ekonomi.

"Kadang tidak banyak orang bisa paham tentang orangutan itu apa yang mau dihilirisasikan, padahal ini sangat penting karena berdampak pada kelangsungan hidup kita manusia," kata Ernawati.

Sementara itu, ahli biologi konservasi dan ilmuwan lingkungan dari Universitas Indonesia Prof Jatna Supriatna mengatakan saat ini data primata di Indonesia belum diperbarui. Apalagi setelah terjadi kebakaran hutan besar tahun 2019 lalu, belum dihitung kembali jumlah primata yang terkena dampak kebakaran.

Hal ini, kata dia berbeda dari kebakaran hutan yang terjadi di Australia saat ini. Australia langsung bisa merilis jumlah hewan yang terdampak kebakaran sesaat setelah kejadian tersebut melanda hutan mereka.

"Pada kebakaran hutan besar tahun lalu, tidak ada yang menghitung jumlah hewan yang terkena dampak," kata Jatna.

Ia menambahkan, primata menggantungkan hidupnya di pohon. Oleh sebab itu, ketika terjadi kebakaran hutan kehidupan primata pasti sangat terganggu. Selain tempat tinggal mereka lenyap, sumber makanan mereka juga hilang.

Alih fungsi lahan pun bisa berdampak besar terhadap habitat primata. Menurut Jatna, ancaman terbesar bagi primata di Indonesia saat ini adalah kehilangan habitat mereka akibat pembangunan dan alih fungsi lahan.

"Kita kurang hati-hari dalam mengelola hutan. Itu pertama. Kedua, planning kementerian itu bagus, tapi di lapangan banyak sekali ilegal logging, konversi hutan tanpa izin, dan lain sebagainya," kata Jatna menjelaskan.

Selain itu, Jatna juga mengingatkan pemerintah harus berkomitmen menjaga lingkungan dan ekosistem. Ia juga mencontohkan negara lain seperti Finlandia yang berkomitmen mengakhiri pembiayaan untuk proyek pembangkit listrik batubara luar negeri.

Saat ini, Indonesia menjadi penghasil emisi gas rumah kaca terbesar keempat di dunia. Penggerak utama emisi adalah efek gabungan dari pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan lainnya serta pembangkit energi.

Peneliti dari Museum Zoologi Bogor dan LIPI, Rosichon Ubaidillah mengatakan perubahan iklim juga kini tengah menjadi perhatian secara serius. Selama dua dasawarsa terakhir topik tersebut menjadi pembahasan di antara komunitas ilmiah.

"Berbagai penelitian telah memberi isyarat bahwa perubahan iklim berdampak pada meningkatknya fenomena pergeseran biogeografis, ketidakcocokan tanaman berbunga dan penyerbuknya, dan mungkin meningkat hingga kepunahan biodiversity," kata Rosichon.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement