Jumat 03 Jan 2020 09:12 WIB

Berkemas (Cerpen)

Sudah, kemasi saja hatimu, kata Pak Presiden berpesan.

Berkemas. Ilustrasi orang pergi.
Foto: Zabur Karuru/Antara
Berkemas. Ilustrasi orang pergi.

Sore itu satu jam selepas Ashar, suara sirine sambut menyambut di bekas kawasan perkampungan sapi. Perkampungan hewan mamalia yang memproduksi susu itu kini tinggal cerita, menjelma menjadi jajaran bangunan jajar genjang jangkung yang meraung ke angkasa. Satu dari puluhan bangunan jangkung di kawasan itu, di salah satu lantainya, di salah satu sudut ruangannya, dan di salah satu mejanya ada seseorang dengan lesung pipi dan tahi lalat di dahi yang sedang aku nanti. Di sore itu. Petang itu.

Dari instastory-mu satu bulan terakhir, aku bisa tahu kamu baik-baik saja. Setidaknya begitu yang terlihat dalam 30 detik di layar ponselku. Tadi pagi, senyummu mengembang di hari jadi, sampai-sampai kamu mungkin tak mengira ada pria dari masa lalu yang kembali datang hanya untuk sekadar menyapa. Ya sekadar menyapa, tanpa bermaksud mengulang cerita. Sekadar menyapa dan mengucapkan serentet rapalan doa.

Sayangnya, sore itu kamu tak mengangkat telepon dariku.

Aku bersandar di pokok kayu yang hidup tak jauh dari jemari kaki bangunan jangkung tempatmu berlindung. Puluhan kali kupijit nomor ponselmu, berganti dengan nomor WA-mu. Lagi-lagi nada sambung terputus tak terhubung. Puluhan kali.

Kulirik kantong belanjaan plastik putih bertuliskan huruf "A" di tangan kiriku. Isinya cokelat beku berbentuk krim kesukaanmu. Sengaja kubeli sebagai hadiah. Maksudnya, ceritanya. Tetapi cokelat beku itu keburu mencair. Air beku di pinggir bungkusnya membasahi bungkus rokok putih bertuliskan "A" di dalam kantong plastik yang sama. Belum sempat aku pisahkan memang, ketika mereka kutebus dari ritel waralaba dengan mahar selembar doku berwarna biru.

Aku masih berlindung di balik bayangan pokok kayu. Kucoba lagi meneleponmu. Tersambung, tapi (lagi-lagi) tak terhubung. Dari speaker ponsel pintarku terdengar nada pekat, tapi tak terangkat. Atau mungkin memang kamu abaikan hingga membuat semangatku mulai berantakan.

Aku bergumul dengan perasaan yang menyemak, berantakan, awut-awutan. Hingga tak sadar di sekelilingku kini suasananya berubah.

Sore itu, jalan raya yang membelah kawasan bekas perkampungan sapi mendadak sepi. Lima menit tak ada kendaraan yang melintasi sepanjang jalan protokol di sana. Lima menit berikutnya puluhan pria berseragam polisi dan tentara sudah membentuk pagar hidup. Beberapa orang dengan kartu bertuliskan "PRESS" terkalung di leher menenteng kamera dan membawa microphone yang kabelnya tergulung sibuk mencari lapak. Mereka berdesakan dengan warga dengan bendera merah putih di tangan, yang entah dari mana datangnya tiba-tiba riuh mendesak dan memaksaku berbagi ruang di tempatku menunggumu.

Tanya bertumpuk rasa penasaran sirna saat seorang pengemudi motor tanpa argo digital bertanya kepada bapak berseragam cokelat, "Ada apa gerangan?"

"Pak presiden mau lewat," jawab pria abdi negara berseragam cokelat singkat sembari sibuk berhalo-halo ria lewat radio tangan.

Sepuluh menit berikutnya, benar saja rombongan presiden melintasi kawasan bekas perkampungan sapi itu dengan mengendarai mobil sedan anti-peluru. Warnanya hitam solid. Kaca jendela mobil terbuka setengah. Iring-iringan mobil berhenti, lalu tanpa disangka penumpang di kursi belakang turun.

Usai kakinya menjejak ke alas hitam campuran kerikil dan lumuran oli bekas, pimpinan tertinggi di negara ini melambaikan tangan beberapa detik ke kamera, memasang wajah senyum ke puluhan warga yang datang tiba-tiba. Aku baru ingat, ini sudah musimnya usaha membangun citra demi raupan suara di tahun kelima.

Presiden lewat persis di depan mukaku. Deretan mata lensa mengarah kepada kami sekarang. Kusodorkan tangan kananku, setelah sebelumnya ponsel kusimpan di balik sampul baju. Tanpa sadar sambil bersalaman kutitipkan pesan cinta dalam bentuk rangkaian aksara: "Pak Presiden, saya mencintai salah satu rakyat Anda. Tapi dia memilih kembali ke pelukan orang yang pernah mengecewakannya."

Pimpinan tertinggi di republik ini pun mengulum senyum, melepaskan seringai, lalu tak bisa lagi mengurung tawa di sepuluh detik berikutnya. "Sudah, kemasi saja hatimu," pesan Pak Presiden seraya ngeloyor pergi menyambut tangan rakyat-rakyatnya yang lain.

Pesan itu membuat hatiku yang membeku sedikit mencair, laksana cokelat beku berbentuk krim di kantong belanjaku yang bercampur sebungkus rokok putih yang tulisannya seperti berubah seraya mengejekku:

"Merokok membunuhmu, kehilanganmu membunuhku."

 

TENTANG PENULIS

KARTA RAHARJA UCU, saat ini bekerja sebagai wartawan Republika. Pemilik akun Instagram: @kartaraharjaucu dan channel Youtube: Karta Raharja Ucu. Kunjungi blog Karta Raharja Ucu di www.kartaraharjaucu.blogspot.com

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement