Ahad 29 Dec 2019 22:39 WIB

Mengabdi demi Mencerdaskan Kaum Perempuan Arfak

Enam perempuan yang dulu buta huruf kini sudah menempuh kejar paket A.

Risna Hasanudin menerima penghargaan SATU Indonesia Awards 2015 dari PT Astra International Tbk.
Foto: Dok Astra
Risna Hasanudin menerima penghargaan SATU Indonesia Awards 2015 dari PT Astra International Tbk.

REPUBLIKA.CO.ID,  Oleh Erik Purnama Putra/Wartawan Republika

Pada medio 2012, Risna Hasanudin membuat keputusan penting dalam hidupnya. Perempuan asal Banda Neira, Kabupaten Maluku Tengah, kelahiran 1 Februari 1988, ini memutuskan hijrah ke Manokwari, Papua Barat, seusai lulus dari Universitas Pattimura (Unpatti) di Kota Ambon, Maluku. Keputusan ingin merantau dibuat Risna karena lolos tes yang diadakan Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Maluku selama dua tahun sebagai relawan untuk mengajar di Papua.

Baca Juga

Kecintaan Risna terhadap tanah Papua tidak datang begitu saja. Ketika masih tercatat sebagai mahasiswa Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unpatti, ia sudah bergelut sebagai aktivis kampus. Pergaulannya yang luas dengan mahasiswa lintas jurusan dan organisasi kampus membuatnya kerap membahas isu Papua. Dari situlah, ia memiliki ketertarikan untuk merasakan hidup di Papua ketika sudah lulus.

Bak gayung bersambut, ia mendapat jalan untuk mengabdikan diri di Papua Barat setelah lolos tes Dispora Maluku. Risna senang bukan kepalang karena salah satu mimpinya terwujud. Namun, orang tuanya khawatir dengan keputusan Risna. Hanya, berkat tekad kuat, Risna akhirnya tetap berangkat menjadi relawan yang bertugas memberikan pendidikan kepada warga Papua.

Selesai kontrak pada 2014, Risna sebenarnya bisa memutuskan untuk pulang kampung. Apalagi, orang tuanya di kampung halaman kerap mencemaskan keadaannya di tanah rantau. Namun, kecintaannya terhadap keramahan warga dan pemandangan indah Papua membuatnya bertahan.

"Saya juga tidak tahu sih mengapa tidak kembali pulang. Karena perasaan saya, semakin saya ingin keluar, saya semakin tertarik dengan kehidupan di Papua," ujar Risna saat berbincang, belum lama ini.

Risna memilih Manokwari, dengan pertimbangan masih memiliki keluarga yang tinggal di sana. Dia mempertimbangkan ingin mengabdikan diri di Kampung Kobrey, Distrik Ransiki, Kabupaten Manokwari Selatan, karena prihatin dengan kondisi masyarakat Suku Arfak yang hidupnya serbatertinggal.

Dia pun mendatangi Kepala Suku (Kampung) Kobrey, Esap Inyomusi, untuk mengutarakan misinya yang ingin memberikan pendidikan kepada warga suku Arfak, khususnya kelompok perempuan. Risna pun malah diberi tempat tinggal untuk menetap di Kampung Kobrey, yang dihuni sekitar 250 kepala keluarga (KK) dari suku Arfak. Meski tinggal di daerah pedalaman, yang membutuhkan waktu tempuh empat sampai lima jam dari Kota Manokwari, ia tetap bersukacita sebagai tenaga pengajar.

Pada tahap awal, ia mendatangi setiap rumah untuk mengajak ibu-ibu dan anak-anak untuk ikut pelajaran yang dirancangnya. Mulanya, cukup berat meyakinkan calon muridnya untuk mau mengikuti ajakannya. Waktu demi waktu akhirnya ia bisa mendapatkan 12 ibu-ibu yang tertarik untuk ikut program pendidikan yang dirancangnya.

Setelahnya, Risna mendapatkan ide untuk mendirikan Rumah Cerdas Perempuan Arfak. Dia merasa ingin agar kehadirannya bisa memberikan pengaruh secara masif bagi kaum perempuan Kampung Kobrey. Dengan beroperasinya rumah belajar yang dibangun secara swadaya dengan koleksi buku seadanya tersebut, akhirnya 'murid-muridnya' mempunyai tempat berkumpul untuk mengikuti pelajaran yang diberikan Risna.

Keprihatinan Risna semakin besar karena ia mendapati perempuan Arfak hampir semuanya tidak mendapatkan pendidikan formal memadai. Banyak di antara mereka yang bahkan tidak lulus sekolah dasar. Faktornya, ada yang menikah usia dini, memang tidak ingin sekolah, serta putus sekolah. "Karena di situ, pendidikan masyarakatnya tertinggal sangat jauh. Pertama kurang pengetahuan, dan pengetahuannya pun masih tradisional," ujar Risna.

Risna pun semakin bersemangat mengenalkan pendidikan dasar bagisekelompok perempuan Arfak, yang sebagian besar buta huruf. Pengajaran yang diberikannya pun seputar membaca, menulis, dan berhitung (calistung). Dia tidak menyangka, kalangan perempuan banyak yang meminati metode mengajarnya. Sehingga, jumlah muridnya tercatat sampai 30 orang.

Dia yang memiliki semangat meningkatkan kualitas kehidupan perempuan dan anak-anak Arfak, hanya ingin agar mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal atau putus sekolah bisa lepas dari belenggu kebodohan. "Saya lihat isu perempuan dan anak di sini, masih jarang yang memperhatikan. Orang tua mereka lebih senang anaknya bekerja daripada sekolah. Terus saya ingin sedikit membantu," ucap Risna.

Risna mengaku, aktivitasnya menjadi pengajar di Rumah Cerdas Perempuan Arfak sangat menyenangkan. Seiring berjalannya waktu, ia membagi kelas dengan menyediakan waktu khusus untuk anak-anak. Risna juga bisa melihat ada semangat yang muncul dari dalam diri ibu-ibu yang ingin belajar.

Dia pun tersentuh mendapati komitmen murid-muridnya yang ingin menuntaskan pertemuan di kelas. "Kita sering mendengar isu Papua minta merdeka, padahal ada isu pendidikan, kesehatan, dan ekonomi yang bisa diselesaikan. Rasa empati terkait dengan kondisi Papua yang membuat saya bertahan," ucap Risna.

photo
Aktivitas Risna Hasanudin mendidik anak-anak di Manokwari, Papua Barat. Dok Pribadi

Pengalaman buruk

Aktivitasnya sebagai pendiri Rumah Cerdas Perempuan Arfak ternya tidak berjalan mulus, karena ternyata ada warga yang tak suka dengannya. Pada akhir 2014, ia harus mengalami pengalaman tidak mengenakkan dalam hidupnya. Suatu ketika, ia mengalami pelecehan seksual oleh pemuda Kampung Kobrey. Belum pulih dari rasa trauma, pada awal 2015, ia yang sedang menunaikan shalat di sebuah rumah kembali nyaris diperkosa warga setempat yang dalam keadaan mabuk. Risna pun memberikan perlawanan dengan sekuat tenaga hingga bisa lolos dari insiden jahanam tersebut.

Cobaan belum berhenti sampai di situ. Pada September 2015, ia diserang oleh lima pemuda di jalanan hingga kepalanya sampai bocor dipukul dengan batu. Beruntung, Risna ditolong tukang ojek hingga terhindar dari peristiwa paling kelam yang akan dihadapinya. Meski begitu, ia harus mengalami pendarahan di hidung selama berbulan-bulan dan matanya lebam akibat terkena pukulan sekawanan pemuda tersebut.

Risna mengungkapkan, penampilannya yang berbeda dengan warga lokal disalahartikan oleh beberapa laki-laki setempat. Gara-gara tiga kali mendapatkan peristiwa yang hampir merusak masa depannya, Risna sempat hilang harapan untuk meneruskan tinggal di Papua. Dia pun mengadukan persoalan yang diterimanya kepada orang tuanya di Maluku. Keputusan sudah dibuat Risna: ingin pulang kampung. "Intimidasi beberapa kali, pada 2014 dan 2015, dan itu dianiaya juga," ucap Risna.

Sebelum memutuskan balik ke Ambon, ibu Risna sempat mengunjungi Kampung Kobrey untuk melihat aktivitas anaknya. Ibunya sempat terenyuh dan tergugah dengan kegiatan Risna yang mencoba mengajak perempuan Arfak untuk mendapatkan pendidikan. Di sela-sela itu, peristiwa tidak disangka-sangka yang membuat Risna haru datang menghampirinya.

Puluhan ibu-ibu dipimpin istri Kepala Kampung Kobrey, Yosina Inyomusi datang menemuinya. Mereka yang selama ini menjadi murid Risna, mencoba merayu gurunya agar mengurungkan niat untuk balik ke tanah kelahirannya. Dari hasil pertemuan singkat tersebut, tercapai kesepakatan ibu-ibu siap memberi jaminan keamanan dan keselamatan bagi Risna selama mengajar.

"Ada yang datang ke rumah, beramai-ramai mereka menangis di sumur. Bilang 'Kakak kalau pulang, kita bagaimana? Kita tidak ada belajar lagi'. Saya tersentuh. Kalau bukan saya, siapa lagi yang mau mengajari mereka," ucap Risma mengenang kisah emosional tersebut.

Hanya, ia sempat balik ke Ambon untuk beberapa saat. Setelah mendapat semangat dan dukungan dari keluarga selama masa menenangkan diri, Risna akhirnya balik lagi ke Manokwari. Hal itu karena ia teringat janjinya dengan Yosina Inyomusi untuk mengajar kembali. Risna menegaskan, keputusan tersebut diambil dipicu hasratnya untuk mencerdaskan perempuan dan anak-anak Papua, khususnya suku Arfak, tidak pernah padam.

Setelah kembali ke Kampung Kobrey, Risna pun semakin bertekad untuk mencoba memberikan yang terbaik kepada para perempuan tersebut. Bekal pengajaran coba diberikan secara maksimal agar murid-muridnya bisa segera mentas dari status buta huruf.

Usahanya akhirnya membuahkan hasil ketika sebagain besar dari ibu-ibu mulai bisa membaca dan berhitung. Meski masih belum lancar, ia merasa mendapatkan kebahagiaan luar biasa mendapati niat tulus muridnya yang secara konsisten belajar di Rumah Cerdas Perempuan Arfak. Risna juga lega, kalau ibu-ibu sudah mendapatkan bekal pendidikan maka ilmunya bisa ditularkan kepada anak-anaknya agar bernasib lebih baik. "Sudah banyak ibu-ibu yang bisa baca tulis, dan enam di antara juga sudah mengambil kejar paket A. Ini luar biasa," ujar Risna bangga.

Di luar itu, Risna juga memberikan pelatihan usaha agar ibu-ibu bisa berdaya dengan membuat tas noken. Hasil pembuatan noken oleh Risna dibantu pemasarannya ke luar Papua lewat jaringan yang dimilikinya. Dia pun memiliki warga binaan yang setiap saat bisa memenuhi kebutuhan noken dari pembeli. Sehingga, kaum perempuan Arfak yang tadinya hanya berdiam di rumah dan mengurus anak, serta buta huruf, kini bisa lebih berdaya dengan memiliki penghasilan sendiri serta memiliki kemampuan membaca dan menghitung.

Atas pengabdian tersebut, Risna menjadi salah satu penerima program Semangat Astra Terpadu Untuk (SATU) Indonesia Awards tahun 2015 di kategori pendidikan. Dia mengaku, sebenarnya tidak ada niatan untuk mengikuti ajang penghargaan, karena apa yang dilakoninya benar-benar tulus untuk masyarakat Papua. Namun, rekannya selama menempuh kuliah di Unpatti terus mendorongnya, hingga Risna akhirnya luluh dan ikut seleksi penghargaan yang diadakan PT Astra International Tbk tersebut.

Setelah menjalani seleksi, dia pun dinobatkan sebagai salah satu pemenang dan menyandang julukan Sang Merak dari Timur. Hadiah yang diterima Risna sebesar Rp 55 juta, digunakan untuk membangun gedung pendidikan anak usia dini (PAUD). Dengan memiliki PAUD, Risna mencoba menyasar untuk mendidik anak-anak sedari kecil agar nanti tumbuh generasi hebat dari Kampung Kobrey.

Dia mengakui, setelah terpilih menjadi pemenang SATU Indonesia Awards, Dinas Pendidikan Manokwari Selatan dan beberapa yayasan menawarkan berbagai bantuan pendidikan. Semua itu, ia arahkan untuk diberikan kepada warga Kampung Kobrey agar mereka bisa mendapatkan pendidikan yang layak. "Kini sudah berdiri sekolah permanen, atas permintaan warga sendiri. Dan anak-anak juga sudah bisa belajar di PAUD," ucap Risna yang kini juga aktif bergiat di lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang dirintisnya sendiri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement