Senin 23 Dec 2019 17:08 WIB

Bolehkah Membaca Ayat Alquran dalam Keadaan Berhadas?

Membaca Alquran pun memiliki adabnya.

Rep: Kiki Sakinah/ Red: Muhammad Hafil
Membaca Alquran.
Foto: ist
Membaca Alquran.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Membaca Alquran menjadi pahala bagi orang yang membacanya. Selain memuat ajaran dan perintah Allah, sejumlah ayat Alquran juga bermakna do'a. Karena itu, membaca Alquran seyogyanya menjadi rutinitas umat Muslim setiap hari, baik Muslim maupun Muslimah.

Membaca Alquran pun memiliki adabnya. Salah satunya, dianjurkan dalam keadaan suci ketika membaca Alquran. Lantas, apakah diperbolehkan membaca ayat Alquran dalam keadaan memiliki hadas, baik itu hadas besar atau pun kecil?

Baca Juga

Ustaz Mukhlis Rahmanto mengatakan, diperbolehkan membaca ayat Alquran bagi seseorang yang tengah berhadas, termasuk perempuan yang tengah berhadas besar seperti haid. Hal ini, menurutnya, juga merupakan fawa dari Majelis Tarjih PP Muhammadiyah.

"Membaca Alquran disamakan dengan berzikir kepada Allah. Tentu saja tetap yang terbaik adalah membaca Alquran dalam keadaan suci dari hadas besar dan kecil, seperti didahului dengan wudhu," kata Ustaz Mukhlis, melalui pesan elektronik kepada Republika.co.id.

Menurut Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah itu, larangan membaca Alquran bagi orang yang berhadas besar hanyalah berdasarkan etis dan kepatutan serta sebagai tanda memuliakan dan menghormati Kalamullah. Sebab, tidak ditemukan hadits yang dapat dijadikan hujjah yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Bahkan, disebutkan bahwa ada hadits shahih yang mengisyaratkan bahwa orang yang berhadas besar boleh membaca Alquran.

Diriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata: "Adalah Nabi saw menyebut nama Allah dalam segala hal." (HR. Muslim, Abu Dawud, dan at-Turmudzi).

Dalam hal ini, dijelaskan bahwa membaca Alquran dapat disamakan dengan menyebut nama Allah atau berzikir. Sementara itu, surah Al Waqiah ayat 79 memang menyebutkan bahwa orang yang menyentuh Alquran sebaiknya orang yang suci. Ayat itu berbunyi, "Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan."

Mengenai hal ini, tim majelis menjelaskan bahwa menurut riwayat ayat itu diturunkan di Makkah, sebelum Nabi saw hijrah ke Madinah. Sementara mushaf Alquran baru ada di zaman khalifah Ustman bin Affan.

Dengan demikian, adanya mushaf Alquran setelah sekitar 30 tahun setelah ayat tersebut diturunkan. Sedangkan pada masa khalifah Utsman, baru ada lima mushaf dan itupun belum beredar ke masyarakat. Mushaf Alquran baru dicetak dan mulai beredar ke tengah masyarakat lebih kurang 900 tahun kemudian. Karenanya, Majelis Tarjih Muhammadiyah menyebut ayat itu tidak ada kaitannya dengan mushaf Alquran.

Menurut pendapat para mufassir, yang dimaksud dengan al-muthahharuun, ialah orang yang suci yang benar-benar beriman kepada Allah, melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Orang-orang itulah yang dapat menyentuh isi dan kandungan Alquran.

Sedangkan orang yang tidak suci tidak akan dapat menyentuh kandungan dan isi Alquran. Karena itulah, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam berpendapat, yang paling baik bagi orang yang hendak membaca Alquran ialah dalam keadaan suci dari hadas dan najis, serta berwudhu terlebih dahulu. Sebab, yang akan dibaca adalah wahyu Allah yang menjadi petunjuk hidup bagi manusia. Menurut mereka, pendapat ini juga sesuai dengan pendapat Ibnul Qayyim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement