Sabtu 14 Dec 2019 03:00 WIB

SMK di Garut Dukung UN Diganti

Di Garut, belum ada sikap kontra terhadap wacana penggantian UN.

Rep: Bayu Adji P/ Red: Dwi Murdaningsih
Sejumlah pelajar saat melaksanakan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di SMP Negeri 11 Jakarta, Senin (22/4).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah pelajar saat melaksanakan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) di SMP Negeri 11 Jakarta, Senin (22/4).

REPUBLIKA.CO.ID, GARUT -- Wacana penggantian sistem penilaian pendidikan yang sebelumnya menggunakan Ujian Nasional (UN) menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter, disambat berbagai kalangan pendidikan. Di Kabupaten Garut, Majelis Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) SMK mendukung penuh pergantian sistem penilaian tersebut.

Ketua MKKS SMK Kabupaten Garut, Dadang Johar Arifin mengatakan, pihaknya sejak lama telah menolak sistem UN. Menurut dia, UN bukan patokan kecerdasan siswa. "Sekarang yang dibutuhkan nalar. Artinya dia bisa menganalisis dan mengaplikasikan ilmunya," kata dia, Jumat (13/12).

 

Ia menambahkan, untuk menilai tingkat metode penilain itu bisa dibuat selayaknya sidang skripsi mahasiswa. Dengan begitu, siswa bisa menjelaskan ilmu yang telah didapatkannya selama belajar di sekolah dan cara ia mengaplikannya di masyarakat.

 

Sementara itu, tugas guru akan lebih fokus meningkatkan kompetensi untuk mengaktualisasikan pelajaran yang ada. "Misalnya gotong royong dalam PKN, bisa gak dia mengaplikasikannya. Kerja sama dengan temannya. Jadi lebih kepada aplikasi. Itu cita-cita kita," kata dia.

 

Kepala Kantor Cabang Dinas (KCD) Pendidikan Wilayah XI Garut, Asep Sudarsono mengatakan, sebenarnya kurikulum pendidikan yang digunakan saat ini sudah berbasis kompetensi. Namun untuk menentukan nilai siswa, ujian yang digunakan masih fokus pada urusan kognitif. Sementara itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim ingin ujian lebih menggali kompetensi siswa.

 

"Tapi tahun ajaran ini masih akan sama polanya, menggunakan UN. Mungkin 2021 akan dikaji karakteristiknya bagaimana," kata dia.

 

Menurut dia, belum ada sikap kontra dari para guru maupun sekolah di Kabupaten Garut terkait adanya wacana pergantian UN. Tinggal, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Kemendikbud) harus melakuka sosialisasi sebelum perubahan itu dilakukan. Dari sosialisasi itu, guru dan sekolah akan mengetahui kelebihan dan kekurangan dari sistem tersebut, baru selanjutnya dapat diimplementasikan.

 

Asep mengakui, pelaksanaan UN memang banyak dianggap hanya berupa pemborosan anggaran di lapangan. Sebab, hasil UN tak menjadi patokan para siswa untuk bisa memasuki dunia kerja atau pendidikan tinggi.

 

"UN kalau untuk dunia kerja tidak menunjang. Untuk pendidikan lanjutan, juga banyak yang menggunakan standar lain untuk menyaring mahasiswa baru. Sehingga UN tidak diperhatikan," kata dia.

 

Kendati demikian, meski UN akan diganti, tetap diperlukan sistem penilaian yang tersandarisasi. Pasalnya, belum semua guru dan sekolah mampu membuat penilaian dengan baik dan bebar.

 

"Di negara maju pun ada standarisasi. Tapi bukan menggunakan UN. Kalau diubah juga perlu diseiapkan standarnya," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement