Jumat 13 Dec 2019 17:02 WIB

UN Dihapus pada 2021, IGI: Sebetulnya Sangat Terlambat

UN malah dinilai berpartisipasi terhadap menurunnya kualitas siswa Indonesia.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Andi Nur Aminah
Ketua Umum IGI, Muhammad Ramli Rahim
Foto: Dok Pribadi
Ketua Umum IGI, Muhammad Ramli Rahim

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ikatan Guru Indonesia (IGI) memandang penghapusan Ujian Nasional (UN) mulai tahun 2021 sesungguhnya sudah sangat terlambat. Ketua IGI M Ramli Rahim menilai, UN sudah seharusnya dihapuskan mulai 2020 ini. Hal ini karena UN selama ini lebih banyak mudharatnya dibanding manfaatnya. Bahkan siswa dinilai tidak menemukan manfaat sama sekali dari UN.

"Bagi ikatan guru Indonesia UN bukan hanya tidak banyak bermanfaat tetapi justru berpartisipasi terhadap menurunnya kualitas siswa Indonesia," ujar Ramli Rahim dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (13/12).

Baca Juga

Ramli mengungkapkan, IGI sudah lebih dari 10 tahun memperjuangkan penghapusan UN bahkan harus menerbitkan buku yang berjudul Buku Hitam Ujian Nasional. Beberapa hari yang lalu data PISA kembali mempermalukan Indonesia bukan hanya sekedar berada di papan bawah tetapi skoringnya pun mengalami penurunan.

Keberadaan UN, Ramli mengatakan, mengakibatkan siswa dan guru-guru lebih fokus menghadapi UN dibanding mempersiapkan kemampuan siswa. "Ujian Nasional jauh lebih penting daripada bakat, kemampuan nalar, kemampuan sosial dan kepribadian serta kemampuan dasar siswa," tutur Ramli.

Dia mengatakan, UN selama ini hanya menghidupkan bimbingan-bimbingan belajar dan dengan demikian tes di sekolah-sekolah. Menurutnya, bimbingan-bimbingan ini tentu saja bukan melatih siswa agar memiliki kemampuan nalar yang baik. Bukan pula melatih siswa untuk memiliki kemampuan analisa yang tinggi tetapi lebih pada kemampuan siswa untuk mampu menjawab soal dengan benar tanpa harus memahami isi soalnya.

Oleh karena itu kemudian UN dinilai justru berpartisipasi terhadap rendahnya kemampuan literasi, kemampuan matematika dan kemampuan sains anak didik kita. "Karena fokusnya bagaimana mendapatkan jawaban yang benar maka cara-cara praktis ditempuh dan ini mengakibatkan kemampuan siswa jauh menurun," jelasnya.

Di sisi lain UN membutuhkan anggaran yang begitu besar, meskipun tidak lagi menggunakan kertas. Tahun 2019 Kemendikbud masih menganggarkan Rp 210 miliar untuk pelaksanaan UN. Ramli mengatakan, andai saja Rp 210 miliar ini digunakan untuk pengangkatan guru, pemerintah akan mampu mengangkat 3500 guru dengan pendapatan rata-rata Rp 5 juta per bulan.

Ramli mengatakan, jangan menyangka bahwa anggaran yang digunakan untuk UN hanya berasal dari anggaran Kemdikbud. Bisa dibayangkan berapa banyak uang yang dikeluarkan oleh orang tua siswa untuk mempersiapkan anaknya untuk menghadapi ujian nasional yang tidak banyak berguna itu.

Mulai dari bimbingan belajar membeli buku paket belajar kemudian biaya transportasi bimbingan belajar kemudian paket data untuk belajar online. Sekali lagi, dana-dana itu digunakan bukan untuk membangun kecerdasan dan daya nalar, tetapi lebih pada upaya mendapatkan nilai yang baik meskipun dengan cara yang sangat opportunis.

Dia menilai, jika disebut bahwa UN adalah untuk pemetaan pendidikan Indonesia kita pun tidak menemukan adanya tindak lanjut dari pemerintah terhadap nilai UN ini. "Kita tidak menemukan ada upaya pemerintah untuk mengintervensi daerah-daerah yang nilai ujian nasionalnya paling rendah sebagai bentuk perhatian pemerintah terhadap keterbelakangan pendidikan, sehingga memang semakin nampak bahwa UN ini tidak dibutuhkan sama sekali," kata Ramli. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement