Kamis 12 Dec 2019 19:16 WIB

Pengamat Kritik Perubahan Kuota PPDB Zonasi

Peraturan zonasi dinilai menjadi akses pendidikan anak dari keluarga tidak mampu.

Rep: Inas Widyanuratikah/ Red: Dwi Murdaningsih
Peraturan zonasi dinilai menjadi akses pendidikan anak dari keluarga tidak mampu. Foto: Orang tua dan calon siswa melihat peta zonasi saat sosialisasi dan simulasi pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 tingkat SMA-SMK di Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/6/2019).
Foto: Antara/M Agung Rajasa
Peraturan zonasi dinilai menjadi akses pendidikan anak dari keluarga tidak mampu. Foto: Orang tua dan calon siswa melihat peta zonasi saat sosialisasi dan simulasi pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) 2019 tingkat SMA-SMK di Bandung, Jawa Barat, Jumat (14/6/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat pendidikan Doni Koesoema menilai keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim dalam mengurangi jumlah kuota zonasi murni dalam Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) mengurangi prinsip keadilan. Kuota zonasi murni sebelumnya adalah minimal 80 persen namun sekarang menjadi 50 persen.

Di dalam Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019, disebutkan soal perubahan jalur dan kota PPDB 2020. Hal yang baru yakni jalur afirmasi untuk keluarga tidak mampu yang porsinya 15 persen dan maksimal 30 persen untuk jalur prestasi.

Baca Juga

"Jalur prestasi 30 persen menurut saya terlalu banyak dan kurang mencerminkan keadilan," kata Doni pada Republika.co.id, Kamis (12/12).

Ia menyebutkan, salah satu masalah penting dalam pendidikan di Indonesia adalah persoalan akses. Sistem PPDB zonasi yang sebelumnya mencerminkan prinsip keadilan yang lebih baik ketimbang kebijakan yang baru.

Akses pendidikan bagi anak-anak dan keluarga tidak mampu dapat lebih terpenuhi dengan peraturan sistem PPDB zonasi sebelumnya. Saat ini, jumlah kuota zonasi murni yang hanya 50 persen akan kembali mempersulit anak-anak dari keluarga tidak mampu tersebut.

Pada PPDB 2019, sistem zonasi secara masif dengan kuota besar mulai dilakukan di seluruh Indonesia. Hal ini menimbulkan berbagai pro dan kontra dari masyarakat. Kelompok masyarakat yang merasa dirugikan karena kebijakan ini bahkan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung. Namun, MA memenangkan Kemendikbud atas uji materi tersebut.

Sejumlah pemerintah daerah juga mengatakan banyak masalah terjadi ketika diterapkan PPDB dalam sistem zonasi. Meskipun demikian, pemerintah daerah juga mengapresiasi sistem ini karena mendorong mereka untuk meningkatkan jumlah sekolah di wilayah yang kekurangan.

Menurut Doni, saat ini kebanyakan pemerintah daerah masih berpikir sekolah elit dan sekolah unggulan. Padahal, seharusnya pemerintah daerah juga memikirkan pemerataan pendidikan.

"Harusnya tidak ada jalur prestasi, karena kita harus berpikir semua anak berprestasi," kata Doni.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement