REPUBLIKA.CO.ID, ACEH -- Jasmerah! Pesan Bung Karno kepada anak bangsa, jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Aceh, provinsi modal bagi keberadaan Republik Indonesia, mengorbankan banyak hal untuk Indonesia. Salah satu yang monumental adalah sumbangan rakyat Aceh untuk pembelian dua unit pesawat Dakota. Pesawat yang semula dinamakan Indonesia Airways, merupakan cikal bakal Garuda Indonesia.
Tidak dapat dipungkiri kenyataan sejarah menyatakan bahwa Rakyat Aceh-lah yang menjadi pemodal pertama dan utama dari Garuda Indonesia. Namun, kenyataan pahit harus dialami Rakyat Aceh. Seolah meninggalkan sejarah, Garuda Indonesia memberikan pil pahit kepada Aceh yaitu harga tiket yang “zalim”, jauh melenceng dari tujuan mulianya yaitu menjalin persatuan Indonesia melalui koneksi udara.
Rakyat aceh salah satu pemodal utama pesawat cikal bakal Garuda Indonesia. Sumber: Noval
Saat ini GIA menetapkan harga tiket tujuan Banda Aceh-Jakarta sebesar 2.5-3 juta rupiah untuk sekali jalan. Medio tahun 2018 harga tiket GIA tujuan yang sama berkisar 1.5-2 juta rupiah. Kenaikan yang luar biasa ini mengakibatkan efek domino: naiknya harga tiket armada swasta yang melayani rute sama. Provinsi termiskin di Sumatra ini seakan semakin terzalimi dengan pengurangan frekuensi terbang dari dan ke Banda Aceh.
Bila dibandingkan dengan waktu tempuh yang hampir sama yaitu Jakarta-Makassar yanh harga tiketnya jauh dibawah Banda Aceh-Jakarta, maka semakin terasa diskriminasi yang dialami rakyat Aceh. Alih-alih ingin merajut persatuan Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau, kenaikan harga tiket ini malah semakin melebarkan jarak antara ujung Sumatra dengan Indonesia secara keseluruhan.
Apakah ini yang dinamakan durhaka? GIA telah berlaku tidak adil terhadap pemodal pertama dan utamanya, dan membuat jarak semakin lebar antara Aceh dan saudaranya di pulau-pulau lain.
Seiring dengan skandal penyelundupan yang baru-baru ini disinyalir dilakukan direksi GIA, maka secercah harapan, bahwa keistimewaan Rakyat Aceh layak dan harus diimplementasikan oleh GIA.
Apabila sangkaan-sangkaan kepada Dirut GIA, yang dituturkan oleh Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) benar adanya, maka periode direksi GIA zalim telah berakhir. Dan Rakyat Aceh sangat berharap adanya kebijakan untuk mengistimewakan Rakyat Aceh sebagai pemodal utama dan pertama GIA, terutama dalam kebijakan harga tiket yang sangat murah dan terjangkau.
*Penulis: Noval, Warga Aceh