REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Langkah pemerintah untuk mengawasi Majelis Taklim sungguh memprihatinkan. Majelis Taklim adalah surga ilmunya kaum ibu. Tempat kaum ibu menimba ilmu Islam di sela-sela aktivitas hariannya. Apa yang perlu dikhawatirkan pemerintah? Mengapa harus didata, disuluh, dan dilakukan langkah-langkah birokratif lainnya?
Apa sebenarnya yang ditakutkan dari sekumpulan kaum ibu yang belajar ilmu Islam? Apakah karena takut ada konten politik? Jikapun ada, bukankah kaum ibu adalah warga negara yang juga harus melek dan cerdas politik? Dimana letak kesalahannya?
Langkah pemerintah ini dapat mengarah pada dugaan Islamofobia. Jika bukan, mengapa hanya kaum ibu yang belajar ilmu Islam dalam majelis taklim yang diawasi? Padahal umat agama lain juga memiliki lingkar-lingkar pembinaan rohani juga. Mengapa tidak ada perlakuan yang sama?
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah M Ridwan Lubis pernah menuliskan bahwa pemerintah zaman kolonial melakukan pengawasan terhadap kegiatan keislaman.
Penghageng Kawedanan Hageng Punakawan Kridhamardawa Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, KPH Notonegoro juga pernah mengatakan bahwa dahulu pemerintah kolonial Belanda melakukan strategi agar masyarakat tidak datang ke sekaten agar tidak terpapar konten syiar dakwah Islam kerajaan.
Islam seolah menjadi momok bagi pemerintah kolonial. Lantas, apakah langkah pemerintah mengawasi pengajian kaum ibu saat ini mengikuti langkah pemerintah masa kolonial? Jika demikian, bukankah ini sebuah regresi politik? Patut direnungkan bersama.
*Penulis:
Ryang Adisty Farahsita
Aktivis Muslimah
Alumnus Pascasarjana FIB UGM
Godean Sleman Yogyakarta